Kamis, 27 September 2012

Manfaat ke vihara


Manfaat ke vihara
YM.Bhikkhu Uttamo mahathera


Mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada
saat yang sesuai, itulah Berkah Utama
(Manggala sutta)

Jikalau kita renungkan, setiap tahun terhitung ada sekitar 52 minggu. Selama itu, berapa kali kita tidak
hadir ke vihara? Dalam 52 minggu yang ada berapa kali kita hadir di vihara? Ada umat yang hadir
sebanyak 30 kali, ada pula umat yang hadir kurang dari 30 kali. Kadang-kadang malah ada umat yang
hanya hadir 4 kali dalam setahun, yaitu: Pada perayaan Magha Puja, Waisak, Asadha, serta Kathina. Jadi,
ada umat yang hadir ke vihara sebanyak 4 kali, 14 kali, tetapi jarang ada umat yang dapat hadir penuh
sampai 52 kali setahun. Alasan mereka macam-macam, salah satunya: Sibuk. Menghadiri puja bakti
secara rutin memang cukup sibuk. Namun bila kita melihat kesibukan para pejabat tinggi negara kita, di
tengah kesibukannya mereka masih dapat melaksanakan ibadahnya dengan khusuk lima kali sehari.
Apabila kita seminggu sekali saja tidak memiliki waktu, apakah berarti kita memang lebih sibuk daripada
para pejabat tersebut? Hanya kita sendirilah yang tahu jawaban sesungguhnya.
Sebetulnya kita bukanlah sibuk, hanya saja tidak mau menyisihkan waktu untuk kebaktian. Kesibukan
sesungguhnya dapat kita atur sendiri, karena memang kita sendirilah yang membuat kesibukan. Saat tidur
saja dapat pula dianggap kesibukan. Kalau kita sedang tidur, kita dapat mencantumkan tulisan: Jangan
ganggu, sedang sibuk. Telpon pun tidak mau menerima. Sepertinya kita sibuk, padahal kegiatan kita
hanyalah tidur. Jadi, kalau kita mengatakan: "Saya sungguh sibuk," pada saat kebaktian, pada saat itu
mungkin kita masih ingin tidur. Oleh karena itu, dalam satu tahun yang terdiri dari 52 minggu yang telah
dijalani, berapa kali kita telah pergi ke vihara? Ini masih menjadi tanda tanya. Dan yang dapat
menjawabnya adalah diri kita sendiri. Orang lain mungkin tidak akan sempat mencatat kehadiran kita.
Hari ini si A hadir, si B tidak hadir, si C hadir, si D tidak hadir. Tidak mungkin. Yang mencatat kehadiran
kita adalah diri kita sendiri.
Hadir dalam puja bakti sesungguhnya sangat penting artinya. Kenapa demikian? Karena dalam etika
ajaran Sang Buddha, kita harus hadir pada setiap hari kebaktian. Dari manakah etika itu muncul?
Mungkin kita sempat berpikir, "Dalam kitab suci Tri Pitaka tidak pernah disebutkan bahwa kita harus
hadir dalam kebaktian baik pada hari Minggu atau pun bukan." Memang dalam kita suci Tri Pitaka tidak
disebutkan hari Minggu harus kebaktian. Tetapi hendaknya kita ingat, dalam kitab suci kita, Tri Pitaka,
diceritakan bahwa para murid Sang Buddha pada hari Uposatha, yang pada jaman itu jatuh pada tanggal
1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), mereka datang menemui Sang Buddha. Mereka
bersujud di hadapan kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian membabarkan Dhamma kepada mereka,
sehingga muncullah kebahagiaan dalam diri mereka. Inilah awal mula adanya tradisi kebaktian dalam
Agama Buddha. Itulah saat melaksanakan Puja Bakti yaitu pada hari Uposatha, tanggal 1, 8, 15, 23
menurut penanggalan bulan atau Imlek. Kemudian setelah Sang Buddha wafat maka tempat duduk Sang
Buddha lah yang dijadikan obyek pemujaan. Maka ketika kita ditanya: "Hendak ke mana?" Jawabnya
bukanlah: "Hendak sembahyang" Bukan. Kita sebenarnya tidak pernah sembahyang. Umat Buddha tidak
bersembahyang, tetapi melakukan Puja Bakti. Istilah 'sembahyang' berarti menyembah Hyang atau dewa.
Kita bukanlah penyembah dewa, dan kita juga tidak pernah meminta-minta kepada dewa: "Dewa angin,
Agama Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
2
percepatkanlah mobil saya ini supaya saya tidak terlambat datang ke vihara." Itu adalah sembahyang. Kita
tidak pernah demikian. "Dewa pintar, ubahlah diri saya menjadi anak yang pandai sehingga saya mampu
mengerjakan semua ulangan ini dengan baik." Itu adalah sembahyang. Kita, umat Buddha tidak pernah
melakukannya. "Dewa mabuk, buatlah semua guru sekolah saya menjadi mabuk dan pusing sehingga hari
ini sekolah diliburkan." Tidak ada dalam pengertian Agama Buddha rumusan permohonan seperti itu.
Sekali lagi, para umat Buddha tidak pernah sembahyang melainkan melakukan puja bakti!
Istilah 'Puja Bakti' memiliki pengertian bahwa kita memuja, menghormat, dan berbakti dengan
menjalankan ajaran Sang Buddha. 'Pemujaan' timbul ketika pada jaman dahulu, para bhikkhu dan murid
Sang Buddha lainnya bersujud kepada Sang Buddha. Mereka memuja, menghormat dengan membawa
bunga, dupa dan lilin. Kalau sekarang, bunganya sudah disediakan di vihara, lilinnya juga sudah
dihidupkan, jadi orang tinggal memasang dupa saja. Begitulah tradisi pemujaan. Kemudian tentang istilah
berbakti. Ketika kita membaca Paritta sebenarnya adalah merupakan pengganti khotbah Sang Buddha,
mengulang khotbah Sang Buddha, merenungkan isinya dan membawanya pulang ke rumah untuk
dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah makna istilah Puja Bakti.
Sejak jaman Sang Buddha, sebulan 4 kali yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 diadakan pertemuan di vihara dan
pembabaran Dhamma. Oleh karena itu, setelah Sang Buddha wafat, tempat duduk Sang Buddha atau
simbol-simbol yang berhubungan dengan ajaran Sang Buddha -seperti misalnya bunga teratai, pohon
bodhi, cakra, stupa, dan kemudian perwujudan Sang Buddha- menjadi obyek pemujaan. Mereka datang di
hadapan Buddha rupang, memasang dupa, lilin, menghormat dan kemudian berbakti dengan mengulang,
mengingat serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, maka terbentuklah etika umat
Buddha bahwa pada hari yang sudah disepakati mereka mengadakan Puja Bhakti. Kalau pada jaman
dahulu jatuh setiap tanggal 1, 8, 15, 23, kesepakatan kita sekarang adalah setiap hari Minggu saja.
Kenapa? Karena tanggal 1, 8, 15, 23 itu kadang-kadang jatuh pada hari kerja, dan kalau pada hari kerja
alasan sibuk tentu akan lebih banyak muncul. Dengan mengingat bahwa etika seorang umat Buddha
seminggu sekali bertemu dengan Sang Buddha, bertemu dengan Dhamma, bertemu dengan Sangha, untuk
mendengarkan Dhamma kemudian melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka hendaknya
hari apapun kesepakatan kita mengadakan puja bakti, kita harus berusaha datang. Itu adalah etikanya.
Pada jaman dahulu di masa Sang Buddha, kalau di vihara sedang ada ceramah Dhamma, ada Puja Bakti,
maka di halaman vihara itu dinaikkan selembar bendera. Dari kejauhan kibaran bendera itu telah nampak.
Apakah maksudnya? Dengan melihat bendera itu, orang yang datang dari jauh akan segera mengetahui
bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Mereka kemudian akan berjalan dengan hati-hati,
tenang serta menghindari suara berisik agar tidak mengganggu kekhusukan dan kekhidmatan vihara. Jadi
semua kendaraan -di jaman itu kereta- langsung diparkir.
Pada waktu berziarah ke India, di sebuah bukit kita diberitahu bahwa Raja Bimbisara bila naik ke bukit itu
untuk menjumpai Sang Buddha, keretanya diparkir di suatu tempat di bawah bukit. Areal parkirnya masih
ada. Kemudian di tengah bukit ada sebuah gardu tempat Raja Bimbisara meninggalkan para pengawalnya.
Raja Bimbisara masih diiringi dua atau empat pengawalnya. Ketika lebih dekat dengan tempat Sang
Buddha tinggal, di gardu terakhir, para pengawal ditinggal di situ, agar tidak menimbulkan keributan.
Barulah Raja Bimbisara naik ke puncak bukit sendirian untuk bertemu dengan Sang Buddha. Jadi bila
telah terlihat kibaran bendera di atas bukit, orang akan segera tahu bahwa Sang Buddha sedang
membabarkan Dhamma karena itu semua orang harus menjaga ketenangan. Tenang bukan berarti tidak
bergerak, melainkan berjalan dengan diam agar tidak mengganggu orang lain yang sedang mendengarkan
khotbah Sang Buddha.
Inilah latihan kedisiplinan sekaligus memperhatikan kebutuhan orang lain yang sesungguhnya ada dalam
Agama Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
3
ajaran Sang Buddha. Mereka datang untuk Sang Buddha, mereka datang untuk mendengarkan Dhamma.
Oleh karena itu, kadang-kadang terpikir: "Bagaimanakah seandainya di cetiya ini bila sedang ada
kebaktian dipasangi bendera?" Artinya, begitu lagu pembukaan 'Mari kita ke vihara' dinyanyikan seperti
tadi, langsung bendera dinaikkan. Jadi, umat yang datang dengan naik sepeda motor segera mematikan
mesinnya. Sepeda motornya dituntun. Tetapi apakah hal ini dapat dilaksanakan? Malah timbul
kekhawatiran, jangan-jangan begitu melihat bendera sudah dinaikkan, para umat yang terlambat
kemudian berpikir: "Kebaktian sudah mulai. Kita terlambat. Kita jalan-jalan ke plaza saja." Sungguh
ironis. Pada jaman dahulu begitu orang menyadari dirinya terlambat hadir maka mereka segera bergegas
namun tetap menjaga ketenangan agar dapat mengikuti khotbah Sang Buddha. Pada jaman ini bila
dipasang bendera sebagai tanda kebaktian sudah mulai maka umat yang sudah sampai di jalan masuk ke
vihara pun dapat berbalik, batal ikut puja bakti. sekarang, umat yang sudah ada dalam lingkungan vihara
juga ada kemungkinan tidak mengikuti puja bakti. Mereka lebih senang jadi tukang parkir, ngobrol di
pintu depan maupun di atas sepeda motor. Mungkin mereka dahulu adalah para pengawal Raja Bimbisara,
jadi tukang parkir kereta Raja. Padahal dalam 7 hari ada 6 hari kita mempunyai waktu untuk ngobrol
dengan kawan-kawan. Ke vihara hendaknya benar-benar kita pergunakan untuk puja bakti. Marilah kita
memulai kebiasaan yang baik ini.
Jadi, inilah salah satu pokok ajaran agama Buddha, wajib mengikuti puja bakti. Oleh karena itu, jangan
pernah bangga dengan mengatakan: "Dalam setahun, saya hanya sekali mengikuti puja bakti. Pada
perayaan Waisak saja." Apakah yang pantas dibanggakan? Menjadi orang yang malas dan tidak
melakukan kewajiban sebagai seorang umat Buddha kok disombongkan. Kalau dalam mengikuti kuliah
51 kali tidak hadir dari 52 kali yang seharusnya diikuti maka kita pasti tidak akan lulus. Dalam aturan
perguruan tinggi bila seseorang mahasiswa mengikuti kuliah tidak kurang dari 75% setahunnya, barulah
ia diperbolehkan mengikuti ujian. jadi kita hendaknya jangan malah sombong dengan jarang mengikuti
puja bakti. Kejelekan dan kemalasan hendaknya tidak diternakkan. Tidak dipamerkan.
Sekarang, bila kita telah berada dalam vihara hendaknya kita mengikuti pembacaan paritta dan uraian
Dhamma dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa umat yang pergi ke vihara hanya untuk bertukar cerita
saja, justru pada saat uraian Dhamma diberikan. Jadi di depan ada acara ceramah, di belakang
mendongeng sendiri. Sikap demikian ini jelas keliru. Kita harus sungguh-sungguh mendengarkan
Dhamma. Bila kita memiliki kewajiban pergi ke vihara maka mendengarkan uraian Dhamma adalah
kewajiban kita pula. Cobalah kita simak kotbah Sang Buddha tentang Berkah Utama, kita akan
menemukan bahwa mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada saat yang sesuai adalah merupakan
Berkah Utama.
Saudara, setelah kita mendengarkan Dhamma, apakah yang kemudian harus kita kerjakan? Kita
hendaknya merenungkan Dhamma itu agar dapat kita laksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Siapa
pun yang memberikan pembabaran Dhamma janganlah dibeda-bedakan. Hal yang terpenting adalah
memperhatikan isi ceramah Dhammanya. Saat ini, di antara para umat Buddha masih sering membedakan
siapa yang memberikan ceramah Dhamma, bukan memperhatikan hal yang diceramahkan. Kenapa
demikian? Kadang-kadang si penceramah memang masih suka marah-marah. Sewaktu dia mengajarkan
tentang kesabaran dan pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, kita mungkin akan
menertawakannya dalam hati. Ini pun merupakan kekeliruan. Kenapa demikian? Dia sebagai manusia
memang punya kesalahan serta kekurangan. Tetapi ingatlah, ceramah yang diberikannya adalah sabda
Sang Buddha. Buddha Dhamma inilah yang perlu kita dengarkan. Seandainya kita mendengarkan lagu
Buddhis dari kaset. Kita hanya akan mendengarkan isi lagunya. Kita tidak akan mempermasalahkan merk
tape-nya. Pokoknya yang penting kita mau mendengarkan dan menikmati lagunya. Tape modelnya apa
Agama Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
4
pun, terserah. Demikian pula dengan orang yang berceramah, itu pun tidak penting, yang penting adalah
isi ceramahnya, Buddha Dhamma. Selama ia membabarkan dengan benar kotbah Sang Buddha, kita
hendaknya selalu menyimak ceramah tersebut dengan sungguh-sungguh. Inilah hal pokok yang pantas
direnungkan.
Dalam satu tahun -52 minggu itu- berapa kali kita tidak hadir di vihara? Sekarang, kalau kita sudah
menyadari bahwa di tahun yang telah lalu itu telah banyak kesalahan yang kita lakukan, banyak tidak
hadir di vihara, maka bertekadlah bahwa mulai minggu depan, kalau bisa 52 minggu sungguh-sungguh
akan selalu kita pergunakan untuk mengikuti puja bakti di vihara. Ini penting. Kenapa demikian? Di
dalam mengikuti agama Buddha, puja bakti termasuk urutan yang pertama. Sebab puja bakti termasuk
dalam langkah-langkah untuk mengembangkan keyakinan pada Ajaran Sang Buddha, yaitu Saddha.
Keyakinan yang kuat diwujudkan dengan selalu mengikuti kegiatan puja bakti. Siapa pun yang ceramah,
di mana pun viharanya, kita hendaknya selalu datang ke vihara. Apabila kita sedang berada di kota
Malang, datanglah ke vihara di Malang. Begitu pula bila kita sedang mengunjungi kota Surabaya,
Yogyakarta, Jakarta dan segala tempat yang ada, selalulah bertanya: "Di manakah vihara di sini?" Kalau
perlu, hubungilah dahulu para bhikkhu setempat untuk meminta keterangan, jadwal puja bakti dan alamat
vihara di sana. Jadi setiap hari kebaktian, biasanya hari Minggu, kita tidak akan ketinggalan melakukan
Puja Bakti.
Puja Bakti menempati urutan nomor satu. Karena puja bakti akan menimbulkan ketenangan dalam diri
kita. Apalagi bila susunan acara dalam Puja Bakti ditata dengan baik. Puja bakti hendaknya diawali
dengan menyanyikan sebuah lagu Buddhis. Setelah mendengarkan uraian Dhamma, bersama-sama
menyanyi sebuah lagu Buddhis lagi. Ketika puja bakti akan ditutup, sekali lagi menyanyi bersama.
Susunan puja bakti semacam ini akan menimbulkan kegembiraan di hati para umat Buddha yang
mengikutinya. Apalagi bila sewaktu menyanyikan lagu-lagu Buddhis diiringi pula dengan berbagai alat
musik. Sungguh sangat mengesankan. Hasilnya, umat yang terkesan akan datang setiap hari Minggu
mengikuti puja bakti. Akhirnya, mengikuti puja bakti akan menjadi salah satu kebutuhan pokoknya.
Begitu pula dengan irama pembacaan Paritta, hendaknya tidak terlalu lambat sehingga umat timbul
kebosanan dan mengantuk. Sebaliknya, juga jangan terlalu cepat karena umat yang telah lanjut usia akan
kesulitan untuk mengikutinya. Irama pembacaan Paritta hendaknya tidak terlalu cepat ataupun terlalu
lambat. Disesuaikan dengan keadaan.
Hanya saja puja bakti bukanlah segalanya. Puja bakti tidak akan menyelesaikan masalah hidup yang
sedang kita hadapi. Kebaktian merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan ketenangan, tetapi belum
dapat menyelesaikan masalah. Dalam melakukan puja bakti, untuk para umat Buddha yang sibuk, di
rumah sebaiknya memiliki sebuah cetiya. Pada waktu pagi dan sore, kita dapat membaca Paritta sendiri,
di rumah masing-masing, sekaligus mengajarkan anak-anak membaca Paritta. Kemudian bila tiba hari
Minggu atau hari kebaktian yang sudah ditentukan di kota itu, bila ada kesempatan, datanglah ke vihara
bersama-sama keluarga untuk mengikuti puja bakti.
Kadang ada umat yang berpendapat bahwa karena di rumahnya sudah memiliki cetiya, maka ia tidak
perlu lagi mengikuti puja bakti di vihara. Memang, kalau hanya membaca Paritta saja, kita cukup lakukan
di rumah masing-masing. Namun, tadi telah dibahas bahwa membaca Paritta atai kebaktian itu baru
langkah yang pertama. Setelah membaca Paritta, kita masih perlu mendengarkan uraian Dhamma. Uraian
Dhamma inilah yang sulit untuk kita dapatkan di rumah sendiri. Apabila kita pergi ke vihara maka pada
saat kebaktian pasti ada pembabaran Dhamma. Dan, pada waktu mendengarkan uraian Dhamma -perlu
diingatkan lagi- jangan kita melihat orang yang membabarkannya melainkan dengarkanlah isi ajarannya.
Kalau memang terpaksa kita tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti puja bakti di vihara, maka di
rumah setelah kita membaca Paritta, kita dapat mendengarkan Dhamma dari kaset ceramah yang sekarang
Agama Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
5
sudah amat gampang didapat. Setengah jam cukup, dengarkanlah satu muka dulu. Lebih baik kalau
sampai habis ceramahnya. Dengarkan saja. Kegiatan itu akan bermanfaat bagi diri kita sendiri. Kenapa
demikian? Sebab ceramah Dhamma itu akan menjadi pedoman hidup diri kita sehingga kita akan merasa
mantap menjalani kehidupan ini. Kita akan mempunyai pegangan bahwa perbuatan ini benar, perbuatan
itu salah. Hal ini benar, hal itu keliru. Dengan demikian kita akan melakukan perbuatan yang benar dan
menghindari perbuatan yang keliru.
Jadi apabila kebaktian dapat menimbulkan ketenangan batin maka ceramah Dhamma akan memberikan
jalan keluar atas masalah hidup kita. Sering kita dengar dari orang-orang yang semula beragama Buddha
kemudian pindah agama, bila ditanya alasannya meninggalkan Agama Buddha, biasanya dijawab: "Saya
tidak menemukan kebahagiaan di agama Buddha." Kalau kemudian ia ditanya: "Sudahkah kamu
melaksanakan Ajaran Sang Buddha?" "Sudah sejak dari kecil saya mempelajari agama Buddha." Memang
mungkin ia sejak kecil telah mengikuti agama Buddha namun hanya ikut puja bakti atau hanya
melaksanakan tradisi saja. Padahal puja bakti hanya salah satu kegiatan sebagai umat Buddha. Sudahkah
ia mendengarkan Dhamma? Mungkin jawabnya: "Sudah biasa mendengarkan Dhamma." Kalau begitu
apakah ia sudah melaksanakan Ajaran Sang Buddha? Kalau hanya mendengarkan Dhamma saja, kita
hanya akan menjadi perpustakaan, kumpulan ilmu pengetahuan tentang Ajaran Sang Buddha, kurang
bermanfaat, kosong. Mendengarkan Dhamma, membaca buku-buku Dhamma saja, hal itu hanya
menjadikan kepala kita seperti perpustakaan. Mengetahui segalanya, Empat Kesunyataan Mulia, riwayat
Sang Buddha, namun tidak dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, orang semacam itu
bukanlah jenis umat Buddha sejati. Oleh karena itu, selain mengikuti puja bakti, mendengarkan uraian
Dhamma maka setelah pulang ke rumah, renungkanlah uraian Dhamma yang baru didengarkan dengan
baik dan berusahalah untuk melaksanakannya. Dengan merenungkan Dhamma akan memantapkan diri
kita dalam menentukan hal yang benar sebagai kebenaran dan hal yang salah sebagi kesalahan. Dengan
demikian, kita pasti akan melakukan yang benar dan meninggalkan yang salah. Bila dalam mempelajari
Dhamma orang telah mencapai tingkat ini, pastilah dia akan berbahagia di dalam Dhamma.
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu ini baru saja kematian anak lelakinya
yang masih muda dan baik hati. Tingkah laku anak ini sangat baik, wajahnya tampan, bahkan
kelihatannya ia paling tampan sekeluarga. Ia juga anak yang paling sering memperhatikan keadaan orang
tuanya. Kalau dia hendak makan, misalnya, dia pasti mencari ibunya terlebih dahulu. Ia akan mengajak
ibunya makan bersama. Ia pula yang akan mengambilkan nasi serta lauknya untuk sang ibu tersayang.
Selain baik perilakunya, sekolahnya pun cukup pandai. Bahkan sebentar lagi ia akan diwisuda sebagai
sarjana S2. Selain itu, dalam waktu dekat ia juga akan segera bertunangan. Namun, siapa sangka kalau ia
akan meninggal. Ia meninggal dalam usia yang relatif masih sangat muda. Kepergiannya menimbulkan
stress keluarganya. Shock.
Namun sewaktu saya bertemu dengan ibunya kemarin, kira-kira setelah lebih 100 hari wafatnya sang
anak, ibu tadi mengatakan bahwa seandainya ia tidak mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma
dengan baik, maka ia bisa menjadi gila. Memang, pada waktu ia berkata demikian sepasang matanya
masih merah menahan isak tangis. Ibu ini termasuk salah satu donatur vihara yang setia. Dari
pengamatan, tidak jarang kita jumpai seorang donatur vihara yang mengalami kesulitan hidup.
Sebenarnya hal ini adalah biasa. kesulitan hidup akan menerpa siapapun juga, baik para donatur vihara
ataupun bukan. Kesulitan hidup adalah karena buah karma buruk yang sedang dipetik. Tetapi kadang
muncul pikiran negatif dalam diri para donatur tersebut. Ia mengeluh kenapa buah kebaikannya sebagai
donatur berakibat penderitaan dan kesedihan? Dahulu sewaktu ia masih sering melakukan pelanggaran
sila, hidupnya malah tidak banyak mengalami penderitaan, tidak pernah usahanya merosot, maupun
kematian anaknya. Sama sekali tidak pernah. Sekarang setelah beberapa lama menjadi donatur, sponsor
vihara, hidupnya malah terasa sulit. Kesimpulan pendek yang diambil adalah lebih baik tidak usah
Agama Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
6
menjadi donatur saja. Ada beberapa orang yang memiliki pandangan salah seperti itu. Bahkan ada seorang
pemborong yang juga mengeluh bahwa jika ia membantu membangun untuk vihara yang dikerjakannya
dengan sukarela dan gratis, malah pekerjaan pokoknya menjadi sepi. Akan tetapi bila ia menolak
membantu pembangunan di vihara maka pekerjaan pokoknya lancar kembali, sampai-sampai ia
kewalahan. Kenyataan seperti ini sering menggoyahkan keyakinan seorang umat Buddha. Keyakinan
dapat goyah karena pengertian akan Hukum Karma masih belum terlalu dimengerti. Ia masih kurang
dalam melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dalam contoh ibu yang ditinggalkan anak tersayangnya tadi,
kelihatan jelas keyakinannya kepada Ajaran Sang Buddha. Ibu tadi tidak menyesali perbuatan baiknya
yang kelihatannya berbuah penderitaan. Ibu tersebut justru mengucapkan kebahagiaannya karena telah
mengenal Buddha Dhamma sehingga mampu dengan tegar menghadapi kenyataan hidup yang amat pahit
itu. Ia tidak menjadi gila karena pengalaman pahitnya. Inilah manfaat Dhamma yang dirasakannya. Inilah
bukti kenyataannya. Ia dapat menyadari bahwa merelakan anaknya lahir kembali adalah merupakan dana
yang sangat besar, jauh lebih besar daripada dana yang telah diberikannya selama ini. Kepergian sang
anak adalah merupakan bagian dari perjalanan karma. Setelah mendengarkan keterangan ini, ibu itu mulai
dapat menenangkan pikirannya. Ketenangan ini muncul karena sang ibu tadi telah memiliki Dhamma
sebagai pegangan hidup. Andaikata sang ibu hanya melaksanakan puja bakti saja maka tidak mungkin ia
akan kuat menghadapi kematian anaknya yang tragis itu. Sesungguhnya memang puja bakti bukanlah
penyelesaian atas suatu permasalahan. Puja bakti hanyalah salah satu usaha untuk meningkatkan
kebaikan, kebahagiaan, dan ketenangan. Masalah dapat diselesaikan dengan rajin mendengarkan,
merenungkan dan melaksanakan Dhamma.
Bekal kita yang ketiga setelah kita rajin melakukan Puja Bakti, lalu gemar mendengarkan Dhamma, maka
ketiga adalah: suka membabarkan Dhamma dengan mengajak rekan kita berdiskusi Dhamma, misalnya.
Membabarkan Dhamma adalah hal yang tidak kalah pentingnya. Apabila pengetahuan dan pengalaman
Dhamma kita sudah cukup memadai tetapi tidak pernah diberi kesempatan untuk berkembang dengan
diskusi maka pengalaman kita akan lambat tumbuhnya. Ibarat kita senang bermain badminton tetapi tidak
pernah mencari lawan tanding, hanya main dengan tembok maka ketrampilan kita tidak akan
berkembang. Kita harus mencari lawan tanding. Demikian pula dengan pengalaman Dhamma. Kita
hendaknya rajin mencari kawan diskusi. Semakin sering kita berdiskusi, semakin bertambah pula
pengetahuan Dhamma kita, dan semakin bertambah pula keyakinan kita. Sebenarnya, lawan diskusi
adalah teman berpikir. Jadi kalau kita bertemu dengan orang yang sulit mengerti Dhamma hendaknya
jangan ia dimusuhi. Ia justru merupakan teman berpikir. Kita hendaknya mencari jalan dan cara supaya
dia akhirnya dapat mengerti Dhamma. Jadi, kemana pun kita berada, cobalah berusaha membuka diskusi
Dhamma dengan rekan sekitar kita. Hal ini penting sebagai pemacu semangat kita untuk menambah
pengetahuan dan keyakinan. Pertanyaan orang lain akan menimbulkan semangat kita untuk berpikir.
Oleh karena itu, bila kita telah sering kebaktian, ada yang sudah 50 kali kebaktian dalam 52 minggu,
bolehlah disebut lulus. Sedangkan mereka yang frekuensi kebaktiannya masih di bawah 30 kali setahun,
maaf saja, Saudara masih belum lulus, belum jadi umat Buddha yang baik. Anda masih termasuk umat
Buddha tradisi, KTP-nya Buddha, tetapi belum melaksanakan ajaran Sang Buddha. Kualitas hidup
semacam itu hendaknya diperbaiki dan ditingkatkan. Kalau perlu, pada penanggalan Saudara setiap hari
puja bakti diberi tanda agar selalu ingat pergi ke vihara. Ke vihara untuk Puja Bakti bukan untuk menjadi
tukang parkir, menjagai sandal, ataupun hanya untuk ngobrol di luar. Itu tak ada gunanya, sama dengan
tidak hadir. Ke vihara hendaknya bukan hanya badan saja yang datang, melainkan juga pikirannya, juga
telinganya. Kalau badannya di vihara tetapi telinganya untuk mendengarkan gosip di luar, itu juga bukan
berarti kita telah pergi ke vihara. Masih tetap dihitung tidak hadir. Masih belum termasuk lulus. Berarti
belum tahu aturan untuk ke vihara. Jadi, kalau pergi ke vihara tandailah kalender Saudara. Bila telah
Agama Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
7
genap satu tahun, hitunglah sudah berapa kali kita ke vihara? Bila sudah ke vihara sebanyak 40 kali,
bolehlah dianggap lulus. Namun, bila jumlahnya masih dibawah angka 30, berarti belum lulus. Jika dapat
hadir ke vihara sebanyak 52 kali, ini dia! Lulus dengan baik, cum laude. Kiranya, suatu ketika nanti kita
perlu mencatat kehadiran umat di vihara, terutama anak-anak. Bila ada anak yang sudah ke vihara setahun
sebanyak 52 kali, ia hendaknya diberi hadiah oleh vihara. Kiranya hal itu akan mendorong anak-anak
melakukan kegiatan yang bermanfaat. Puja bakti, mendengarkan, dan berbagi Dhamma.
Bila dalam tahun ini kita sudah banyak ke vihara, marilah kita tingkatkan di tahun mendatang:
mendengarkan Dhamma dan melaksanakan Dhamma. Namun hal ini juga harus kita selidiki lebih lanjut.
Sudahkah saya memiliki banyak pengetahuan Dhamma? Sudahkah saya menjalani Dhamma? Kalau kita
belum banyak mendengar Dhamma, belum punya kaset Dhamma, maka persyaratan untuk lulus masih
kurang. Jadi, kita harus memiliki buku Dhamma. Sekarang buku sudah ada, kaset Dhamma juga banyak.
Kalau Saudara belum memiliki, persyaratan lulus juga masih kurang. Setelah mempunyai buku Dhamma,
kaset ceramah Dhamma, sekarang kita renungkan: 'Sudahkah kita mengenalkan Dhamma kepada orang
lain?' perilaku ini termasuk pada nomor 3, berdiskusi Dhamma. Dalam setahun, berapa banyak kita telah
mengenalkan Dhamma? Kalau masih belum banyak, masih ada kesempatan untuk kita lakukan mulai
sekarang.
Saudara, tiga hal inilah yang hendaknya kita renungkan dan kita kembangkan. Pertama adalah rajin
mengikuti kebaktian sebagai hal yang pokok untuk mendapatkan ketenangan secara emosional. Kedua:
mendengarkan Dhamma dan menambah wawasan, sehingga kita punya pegangan hidup untuk
kehidupan kita sehari-hari. Dan ketiga: carilah teman diskusi, karena hal itu akan memperkuat
keyakinan kita pada ajaran Sang Buddha, sekaligus kita memiliki kesempatan untuk membagikan
Dhamma kepada pihak lain. Dalam ajaran Sang Buddha disebutkan bahwa dari semua pemberian,
Pemberian Dhamma-lah yang paling tinggi nilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar