Manfaat ke vihara
YM.Bhikkhu Uttamo mahathera
Mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada
saat yang sesuai, itulah Berkah Utama
(Manggala sutta)
Jikalau
kita renungkan, setiap tahun terhitung ada sekitar 52 minggu. Selama itu,
berapa kali kita tidak
hadir
ke vihara? Dalam 52 minggu yang ada berapa kali kita hadir di vihara? Ada umat
yang hadir
sebanyak
30 kali, ada pula umat yang hadir kurang dari 30 kali. Kadang-kadang malah ada
umat yang
hanya
hadir 4 kali dalam setahun, yaitu: Pada perayaan Magha Puja, Waisak, Asadha,
serta Kathina. Jadi,
ada
umat yang hadir ke vihara sebanyak 4 kali, 14 kali, tetapi jarang ada umat yang
dapat hadir penuh
sampai
52 kali setahun. Alasan mereka macam-macam, salah satunya: Sibuk. Menghadiri
puja bakti
secara
rutin memang cukup sibuk. Namun bila kita melihat kesibukan para pejabat tinggi
negara kita, di
tengah
kesibukannya mereka masih dapat melaksanakan ibadahnya dengan khusuk lima kali
sehari.
Apabila
kita seminggu sekali saja tidak memiliki waktu, apakah berarti kita memang
lebih sibuk daripada
para
pejabat tersebut? Hanya kita sendirilah yang tahu jawaban sesungguhnya.
Sebetulnya
kita bukanlah sibuk, hanya saja tidak mau menyisihkan waktu untuk kebaktian.
Kesibukan
sesungguhnya
dapat kita atur sendiri, karena memang kita sendirilah yang membuat kesibukan.
Saat tidur
saja
dapat pula dianggap kesibukan. Kalau kita sedang tidur, kita dapat mencantumkan
tulisan: Jangan
ganggu,
sedang sibuk. Telpon pun tidak mau menerima. Sepertinya kita sibuk, padahal
kegiatan kita
hanyalah
tidur. Jadi, kalau kita mengatakan: "Saya sungguh sibuk," pada saat
kebaktian, pada saat itu
mungkin
kita masih ingin tidur. Oleh karena itu, dalam satu tahun yang terdiri dari 52
minggu yang telah
dijalani,
berapa kali kita telah pergi ke vihara? Ini masih menjadi tanda tanya. Dan yang
dapat
menjawabnya
adalah diri kita sendiri. Orang lain mungkin tidak akan sempat mencatat
kehadiran kita.
Hari
ini si A hadir, si B tidak hadir, si C hadir, si D tidak hadir. Tidak mungkin.
Yang mencatat kehadiran
kita
adalah diri kita sendiri.
Hadir
dalam puja bakti sesungguhnya sangat penting artinya. Kenapa demikian? Karena
dalam etika
ajaran
Sang Buddha, kita harus hadir pada setiap hari kebaktian. Dari manakah etika
itu muncul?
Mungkin
kita sempat berpikir, "Dalam kitab suci Tri Pitaka tidak pernah disebutkan
bahwa kita harus
hadir
dalam kebaktian baik pada hari Minggu atau pun bukan." Memang dalam kita
suci Tri Pitaka tidak
disebutkan
hari Minggu harus kebaktian. Tetapi hendaknya kita ingat, dalam kitab suci
kita, Tri Pitaka,
diceritakan
bahwa para murid Sang Buddha pada hari Uposatha, yang pada jaman itu jatuh pada
tanggal
1,
8, 15, dan 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), mereka datang menemui Sang
Buddha. Mereka
bersujud
di hadapan kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian membabarkan Dhamma kepada
mereka,
sehingga
muncullah kebahagiaan dalam diri mereka. Inilah awal mula adanya tradisi
kebaktian dalam
Agama
Buddha. Itulah saat melaksanakan Puja Bakti yaitu pada hari Uposatha, tanggal
1, 8, 15, 23
menurut
penanggalan bulan atau Imlek. Kemudian setelah Sang Buddha wafat maka tempat
duduk Sang
Buddha
lah yang dijadikan obyek pemujaan. Maka ketika kita ditanya: "Hendak ke
mana?" Jawabnya
bukanlah:
"Hendak sembahyang" Bukan. Kita sebenarnya tidak pernah sembahyang.
Umat Buddha tidak
bersembahyang,
tetapi melakukan Puja Bakti. Istilah 'sembahyang' berarti menyembah Hyang atau
dewa.
Kita
bukanlah penyembah dewa, dan kita juga tidak pernah meminta-minta kepada dewa:
"Dewa angin,
Agama
Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber:
Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
2
percepatkanlah
mobil saya ini supaya saya tidak terlambat datang ke vihara." Itu adalah
sembahyang. Kita
tidak
pernah demikian. "Dewa pintar, ubahlah diri saya menjadi anak yang pandai
sehingga saya mampu
mengerjakan
semua ulangan ini dengan baik." Itu adalah sembahyang. Kita, umat Buddha
tidak pernah
melakukannya.
"Dewa mabuk, buatlah semua guru sekolah saya menjadi mabuk dan pusing
sehingga hari
ini
sekolah diliburkan." Tidak ada dalam pengertian Agama Buddha rumusan permohonan
seperti itu.
Sekali
lagi, para umat Buddha tidak pernah sembahyang melainkan melakukan puja bakti!
Istilah
'Puja Bakti' memiliki pengertian bahwa kita memuja, menghormat, dan berbakti
dengan
menjalankan
ajaran Sang Buddha. 'Pemujaan' timbul ketika pada jaman dahulu, para
bhikkhu dan murid
Sang
Buddha lainnya bersujud kepada Sang Buddha. Mereka memuja, menghormat dengan
membawa
bunga,
dupa dan lilin. Kalau sekarang, bunganya sudah disediakan di vihara, lilinnya
juga sudah
dihidupkan,
jadi orang tinggal memasang dupa saja. Begitulah tradisi pemujaan. Kemudian
tentang istilah
berbakti.
Ketika kita membaca Paritta sebenarnya adalah merupakan
pengganti khotbah Sang Buddha,
mengulang
khotbah Sang Buddha, merenungkan isinya dan membawanya pulang ke rumah untuk
dilaksanakan
dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah makna istilah Puja Bakti.
Sejak
jaman Sang Buddha, sebulan 4 kali yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 diadakan pertemuan
di vihara dan
pembabaran
Dhamma. Oleh karena itu, setelah Sang Buddha wafat, tempat duduk Sang Buddha
atau
simbol-simbol
yang berhubungan dengan ajaran Sang Buddha -seperti misalnya bunga teratai,
pohon
bodhi,
cakra, stupa, dan kemudian perwujudan Sang Buddha- menjadi obyek pemujaan.
Mereka datang di
hadapan
Buddha rupang, memasang dupa, lilin, menghormat dan kemudian berbakti dengan
mengulang,
mengingat
serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, maka terbentuklah etika
umat
Buddha
bahwa pada hari yang sudah disepakati mereka mengadakan Puja Bhakti. Kalau pada
jaman
dahulu
jatuh setiap tanggal 1, 8, 15, 23, kesepakatan kita sekarang adalah setiap hari
Minggu saja.
Kenapa?
Karena tanggal 1, 8, 15, 23 itu kadang-kadang jatuh pada hari kerja, dan kalau
pada hari kerja
alasan
sibuk tentu akan lebih banyak muncul. Dengan mengingat bahwa etika seorang umat
Buddha
seminggu
sekali bertemu dengan Sang Buddha, bertemu dengan Dhamma, bertemu dengan
Sangha, untuk
mendengarkan
Dhamma kemudian melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka hendaknya
hari
apapun kesepakatan kita mengadakan puja bakti, kita harus berusaha datang. Itu
adalah etikanya.
Pada
jaman dahulu di masa Sang Buddha, kalau di vihara sedang ada ceramah Dhamma,
ada Puja Bakti,
maka
di halaman vihara itu dinaikkan selembar bendera. Dari kejauhan kibaran bendera
itu telah nampak.
Apakah
maksudnya? Dengan melihat bendera itu, orang yang datang dari jauh akan segera
mengetahui
bahwa
Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Mereka kemudian akan berjalan dengan
hati-hati,
tenang
serta menghindari suara berisik agar tidak mengganggu kekhusukan dan
kekhidmatan vihara. Jadi
semua
kendaraan -di jaman itu kereta- langsung diparkir.
Pada
waktu berziarah ke India, di sebuah bukit kita diberitahu bahwa Raja Bimbisara
bila naik ke bukit itu
untuk
menjumpai Sang Buddha, keretanya diparkir di suatu tempat di bawah bukit. Areal
parkirnya masih
ada.
Kemudian di tengah bukit ada sebuah gardu tempat Raja Bimbisara meninggalkan
para pengawalnya.
Raja
Bimbisara masih diiringi dua atau empat pengawalnya. Ketika lebih dekat dengan
tempat Sang
Buddha
tinggal, di gardu terakhir, para pengawal ditinggal di situ, agar tidak
menimbulkan keributan.
Barulah
Raja Bimbisara naik ke puncak bukit sendirian untuk bertemu dengan Sang Buddha.
Jadi bila
telah
terlihat kibaran bendera di atas bukit, orang akan segera tahu bahwa Sang
Buddha sedang
membabarkan
Dhamma karena itu semua orang harus menjaga ketenangan. Tenang bukan berarti
tidak
bergerak,
melainkan berjalan dengan diam agar tidak mengganggu orang lain yang sedang
mendengarkan
khotbah
Sang Buddha.
Inilah
latihan kedisiplinan sekaligus memperhatikan kebutuhan orang lain yang
sesungguhnya ada dalam
Agama
Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber:
Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
3
ajaran
Sang Buddha. Mereka datang untuk Sang Buddha, mereka datang untuk mendengarkan
Dhamma.
Oleh
karena itu, kadang-kadang terpikir: "Bagaimanakah seandainya di cetiya ini
bila sedang ada
kebaktian
dipasangi bendera?" Artinya, begitu lagu pembukaan 'Mari kita ke vihara'
dinyanyikan seperti
tadi,
langsung bendera dinaikkan. Jadi, umat yang datang dengan naik sepeda motor
segera mematikan
mesinnya.
Sepeda motornya dituntun. Tetapi apakah hal ini dapat dilaksanakan? Malah
timbul
kekhawatiran,
jangan-jangan begitu melihat bendera sudah dinaikkan, para umat yang terlambat
kemudian
berpikir: "Kebaktian sudah mulai. Kita terlambat. Kita jalan-jalan ke
plaza saja." Sungguh
ironis.
Pada jaman dahulu begitu orang menyadari dirinya terlambat hadir maka mereka
segera bergegas
namun
tetap menjaga ketenangan agar dapat mengikuti khotbah Sang Buddha. Pada jaman
ini bila
dipasang
bendera sebagai tanda kebaktian sudah mulai maka umat yang sudah sampai di
jalan masuk ke
vihara
pun dapat berbalik, batal ikut puja bakti. sekarang, umat yang sudah ada dalam
lingkungan vihara
juga
ada kemungkinan tidak mengikuti puja bakti. Mereka lebih senang jadi tukang
parkir, ngobrol di
pintu
depan maupun di atas sepeda motor. Mungkin mereka dahulu adalah para pengawal
Raja Bimbisara,
jadi
tukang parkir kereta Raja. Padahal dalam 7 hari ada 6 hari kita mempunyai waktu
untuk ngobrol
dengan
kawan-kawan. Ke vihara hendaknya benar-benar kita pergunakan untuk puja bakti.
Marilah kita
memulai
kebiasaan yang baik ini.
Jadi,
inilah salah satu pokok ajaran agama Buddha, wajib mengikuti puja bakti. Oleh
karena itu, jangan
pernah
bangga dengan mengatakan: "Dalam setahun, saya hanya sekali mengikuti puja
bakti. Pada
perayaan
Waisak saja." Apakah yang pantas dibanggakan? Menjadi orang yang malas dan
tidak
melakukan
kewajiban sebagai seorang umat Buddha kok disombongkan. Kalau dalam
mengikuti kuliah
51
kali tidak hadir dari 52 kali yang seharusnya diikuti maka kita pasti tidak
akan lulus. Dalam aturan
perguruan
tinggi bila seseorang mahasiswa mengikuti kuliah tidak kurang dari 75%
setahunnya, barulah
ia
diperbolehkan mengikuti ujian. jadi kita hendaknya jangan malah sombong dengan
jarang mengikuti
puja
bakti. Kejelekan dan kemalasan hendaknya tidak diternakkan. Tidak dipamerkan.
Sekarang,
bila kita telah berada dalam vihara hendaknya kita mengikuti pembacaan paritta
dan uraian
Dhamma
dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa umat yang pergi ke vihara hanya untuk
bertukar cerita
saja,
justru pada saat uraian Dhamma diberikan. Jadi di depan ada acara ceramah, di
belakang
mendongeng
sendiri. Sikap demikian ini jelas keliru. Kita harus sungguh-sungguh
mendengarkan
Dhamma.
Bila kita memiliki kewajiban pergi ke vihara maka mendengarkan uraian Dhamma
adalah
kewajiban
kita pula. Cobalah kita simak kotbah Sang Buddha tentang Berkah Utama, kita
akan
menemukan
bahwa mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada saat yang sesuai adalah merupakan
Berkah
Utama.
Saudara,
setelah kita mendengarkan Dhamma, apakah yang kemudian harus kita kerjakan?
Kita
hendaknya
merenungkan Dhamma itu agar dapat kita laksanakan di dalam kehidupan
sehari-hari. Siapa
pun
yang memberikan pembabaran Dhamma janganlah dibeda-bedakan. Hal yang terpenting
adalah
memperhatikan
isi ceramah Dhammanya. Saat ini, di antara para umat Buddha masih sering
membedakan
siapa
yang memberikan ceramah Dhamma, bukan memperhatikan hal yang diceramahkan.
Kenapa
demikian?
Kadang-kadang si penceramah memang masih suka marah-marah. Sewaktu dia
mengajarkan
tentang
kesabaran dan pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, kita mungkin akan
menertawakannya
dalam hati. Ini pun merupakan kekeliruan. Kenapa demikian? Dia sebagai manusia
memang
punya kesalahan serta kekurangan. Tetapi ingatlah, ceramah yang diberikannya
adalah sabda
Sang
Buddha. Buddha Dhamma inilah yang perlu kita dengarkan. Seandainya kita
mendengarkan lagu
Buddhis
dari kaset. Kita hanya akan mendengarkan isi lagunya. Kita tidak akan
mempermasalahkan merk
tape-nya.
Pokoknya yang penting kita mau mendengarkan dan menikmati lagunya. Tape
modelnya apa
Agama
Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber:
Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
4
pun,
terserah. Demikian pula dengan orang yang berceramah, itu pun tidak penting,
yang penting adalah
isi
ceramahnya, Buddha Dhamma. Selama ia membabarkan dengan benar kotbah Sang
Buddha, kita
hendaknya
selalu menyimak ceramah tersebut dengan sungguh-sungguh. Inilah hal pokok yang
pantas
direnungkan.
Dalam
satu tahun -52 minggu itu- berapa kali kita tidak hadir di vihara? Sekarang,
kalau kita sudah
menyadari
bahwa di tahun yang telah lalu itu telah banyak kesalahan yang kita lakukan,
banyak tidak
hadir
di vihara, maka bertekadlah bahwa mulai minggu depan, kalau bisa 52 minggu
sungguh-sungguh
akan
selalu kita pergunakan untuk mengikuti puja bakti di vihara. Ini penting.
Kenapa demikian? Di
dalam
mengikuti agama Buddha, puja bakti termasuk urutan yang pertama. Sebab puja
bakti termasuk
dalam
langkah-langkah untuk mengembangkan keyakinan pada Ajaran Sang Buddha, yaitu Saddha.
Keyakinan
yang kuat diwujudkan dengan selalu mengikuti kegiatan puja bakti. Siapa pun
yang ceramah,
di
mana pun viharanya, kita hendaknya selalu datang ke vihara. Apabila kita sedang
berada di kota
Malang,
datanglah ke vihara di Malang. Begitu pula bila kita sedang mengunjungi kota
Surabaya,
Yogyakarta,
Jakarta dan segala tempat yang ada, selalulah bertanya: "Di manakah vihara
di sini?" Kalau
perlu,
hubungilah dahulu para bhikkhu setempat untuk meminta keterangan, jadwal puja
bakti dan alamat
vihara
di sana. Jadi setiap hari kebaktian, biasanya hari Minggu, kita tidak akan
ketinggalan melakukan
Puja
Bakti.
Puja
Bakti menempati urutan nomor satu. Karena puja bakti akan menimbulkan
ketenangan dalam diri
kita.
Apalagi bila susunan acara dalam Puja Bakti ditata dengan baik. Puja bakti
hendaknya diawali
dengan
menyanyikan sebuah lagu Buddhis. Setelah mendengarkan uraian Dhamma,
bersama-sama
menyanyi
sebuah lagu Buddhis lagi. Ketika puja bakti akan ditutup, sekali lagi menyanyi
bersama.
Susunan
puja bakti semacam ini akan menimbulkan kegembiraan di hati para umat Buddha
yang
mengikutinya.
Apalagi bila sewaktu menyanyikan lagu-lagu Buddhis diiringi pula dengan
berbagai alat
musik.
Sungguh sangat mengesankan. Hasilnya, umat yang terkesan akan datang setiap
hari Minggu
mengikuti
puja bakti. Akhirnya, mengikuti puja bakti akan menjadi salah satu kebutuhan
pokoknya.
Begitu
pula dengan irama pembacaan Paritta, hendaknya tidak terlalu lambat sehingga
umat timbul
kebosanan
dan mengantuk. Sebaliknya, juga jangan terlalu cepat karena umat yang telah
lanjut usia akan
kesulitan
untuk mengikutinya. Irama pembacaan Paritta hendaknya tidak terlalu cepat
ataupun terlalu
lambat.
Disesuaikan dengan keadaan.
Hanya
saja puja bakti bukanlah segalanya. Puja bakti tidak akan menyelesaikan masalah
hidup yang
sedang
kita hadapi. Kebaktian merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan ketenangan,
tetapi belum
dapat
menyelesaikan masalah. Dalam melakukan puja bakti, untuk para umat Buddha yang
sibuk, di
rumah
sebaiknya memiliki sebuah cetiya. Pada waktu pagi dan sore, kita dapat membaca
Paritta sendiri,
di
rumah masing-masing, sekaligus mengajarkan anak-anak membaca Paritta. Kemudian
bila tiba hari
Minggu
atau hari kebaktian yang sudah ditentukan di kota itu, bila ada kesempatan,
datanglah ke vihara
bersama-sama
keluarga untuk mengikuti puja bakti.
Kadang
ada umat yang berpendapat bahwa karena di rumahnya sudah memiliki cetiya, maka
ia tidak
perlu
lagi mengikuti puja bakti di vihara. Memang, kalau hanya membaca Paritta saja,
kita cukup lakukan
di
rumah masing-masing. Namun, tadi telah dibahas bahwa membaca Paritta atai
kebaktian itu baru
langkah
yang pertama. Setelah membaca Paritta, kita masih perlu mendengarkan uraian
Dhamma. Uraian
Dhamma
inilah yang sulit untuk kita dapatkan di rumah sendiri. Apabila kita pergi ke
vihara maka pada
saat
kebaktian pasti ada pembabaran Dhamma. Dan, pada waktu mendengarkan uraian
Dhamma -perlu
diingatkan
lagi- jangan kita melihat orang yang membabarkannya melainkan dengarkanlah isi
ajarannya.
Kalau
memang terpaksa kita tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti puja bakti di
vihara, maka di
rumah
setelah kita membaca Paritta, kita dapat mendengarkan Dhamma dari kaset ceramah
yang sekarang
Agama
Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber:
Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
5
sudah
amat gampang didapat. Setengah jam cukup, dengarkanlah satu muka dulu. Lebih
baik kalau
sampai
habis ceramahnya. Dengarkan saja. Kegiatan itu akan bermanfaat bagi diri kita
sendiri. Kenapa
demikian?
Sebab ceramah Dhamma itu akan menjadi pedoman hidup diri kita sehingga kita
akan merasa
mantap
menjalani kehidupan ini. Kita akan mempunyai pegangan bahwa perbuatan ini
benar, perbuatan
itu
salah. Hal ini benar, hal itu keliru. Dengan demikian kita akan melakukan
perbuatan yang benar dan
menghindari
perbuatan yang keliru.
Jadi
apabila kebaktian dapat menimbulkan ketenangan batin maka ceramah Dhamma akan
memberikan
jalan
keluar atas masalah hidup kita. Sering kita dengar dari orang-orang yang semula
beragama Buddha
kemudian
pindah agama, bila ditanya alasannya meninggalkan Agama Buddha, biasanya
dijawab: "Saya
tidak
menemukan kebahagiaan di agama Buddha." Kalau kemudian ia ditanya:
"Sudahkah kamu
melaksanakan
Ajaran Sang Buddha?" "Sudah sejak dari kecil saya mempelajari agama
Buddha." Memang
mungkin
ia sejak kecil telah mengikuti agama Buddha namun hanya ikut puja bakti atau
hanya
melaksanakan
tradisi saja. Padahal puja bakti hanya salah satu kegiatan sebagai umat Buddha.
Sudahkah
ia
mendengarkan Dhamma? Mungkin jawabnya: "Sudah biasa mendengarkan
Dhamma." Kalau begitu
apakah
ia sudah melaksanakan Ajaran Sang Buddha? Kalau hanya mendengarkan Dhamma saja,
kita
hanya
akan menjadi perpustakaan, kumpulan ilmu pengetahuan tentang Ajaran Sang
Buddha, kurang
bermanfaat,
kosong. Mendengarkan Dhamma, membaca buku-buku Dhamma saja, hal itu hanya
menjadikan
kepala kita seperti perpustakaan. Mengetahui segalanya, Empat Kesunyataan Mulia,
riwayat
Sang
Buddha, namun tidak dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, orang
semacam itu
bukanlah
jenis umat Buddha sejati. Oleh karena itu, selain mengikuti puja bakti,
mendengarkan uraian
Dhamma
maka setelah pulang ke rumah, renungkanlah uraian Dhamma yang baru didengarkan
dengan
baik
dan berusahalah untuk melaksanakannya. Dengan merenungkan Dhamma akan
memantapkan diri
kita
dalam menentukan hal yang benar sebagai kebenaran dan hal yang salah sebagi
kesalahan. Dengan
demikian,
kita pasti akan melakukan yang benar dan meninggalkan yang salah. Bila dalam
mempelajari
Dhamma
orang telah mencapai tingkat ini, pastilah dia akan berbahagia di dalam Dhamma.
Beberapa
waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu ini baru saja kematian anak
lelakinya
yang
masih muda dan baik hati. Tingkah laku anak ini sangat baik, wajahnya tampan,
bahkan
kelihatannya
ia paling tampan sekeluarga. Ia juga anak yang paling sering memperhatikan
keadaan orang
tuanya.
Kalau dia hendak makan, misalnya, dia pasti mencari ibunya terlebih dahulu. Ia
akan mengajak
ibunya
makan bersama. Ia pula yang akan mengambilkan nasi serta lauknya untuk sang ibu
tersayang.
Selain
baik perilakunya, sekolahnya pun cukup pandai. Bahkan sebentar lagi ia akan
diwisuda sebagai
sarjana
S2. Selain itu, dalam waktu dekat ia juga akan segera bertunangan. Namun, siapa
sangka kalau ia
akan
meninggal. Ia meninggal dalam usia yang relatif masih sangat muda. Kepergiannya
menimbulkan
stress
keluarganya. Shock.
Namun
sewaktu saya bertemu dengan ibunya kemarin, kira-kira setelah lebih 100 hari
wafatnya sang
anak,
ibu tadi mengatakan bahwa seandainya ia tidak mengenal dan melaksanakan Buddha
Dhamma
dengan
baik, maka ia bisa menjadi gila. Memang, pada waktu ia berkata demikian
sepasang matanya
masih
merah menahan isak tangis. Ibu ini termasuk salah satu donatur vihara yang
setia. Dari
pengamatan,
tidak jarang kita jumpai seorang donatur vihara yang mengalami kesulitan hidup.
Sebenarnya
hal ini adalah biasa. kesulitan hidup akan menerpa siapapun juga, baik para
donatur vihara
ataupun
bukan. Kesulitan hidup adalah karena buah karma buruk yang sedang dipetik.
Tetapi kadang
muncul
pikiran negatif dalam diri para donatur tersebut. Ia mengeluh kenapa buah
kebaikannya sebagai
donatur
berakibat penderitaan dan kesedihan? Dahulu sewaktu ia masih sering melakukan
pelanggaran
sila,
hidupnya malah tidak banyak mengalami penderitaan, tidak pernah usahanya
merosot, maupun
kematian
anaknya. Sama sekali tidak pernah. Sekarang setelah beberapa lama menjadi
donatur, sponsor
vihara,
hidupnya malah terasa sulit. Kesimpulan pendek yang diambil adalah lebih baik
tidak usah
Agama
Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber:
Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
6
menjadi
donatur saja. Ada beberapa orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.
Bahkan ada seorang
pemborong
yang juga mengeluh bahwa jika ia membantu membangun untuk vihara yang
dikerjakannya
dengan
sukarela dan gratis, malah pekerjaan pokoknya menjadi sepi. Akan tetapi bila ia
menolak
membantu
pembangunan di vihara maka pekerjaan pokoknya lancar kembali, sampai-sampai ia
kewalahan.
Kenyataan seperti ini sering menggoyahkan keyakinan seorang umat Buddha.
Keyakinan
dapat
goyah karena pengertian akan Hukum Karma masih belum terlalu dimengerti. Ia
masih kurang
dalam
melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dalam contoh ibu yang ditinggalkan anak
tersayangnya tadi,
kelihatan
jelas keyakinannya kepada Ajaran Sang Buddha. Ibu tadi tidak menyesali
perbuatan baiknya
yang
kelihatannya berbuah penderitaan. Ibu tersebut justru mengucapkan
kebahagiaannya karena telah
mengenal
Buddha Dhamma sehingga mampu dengan tegar menghadapi kenyataan hidup yang amat
pahit
itu.
Ia tidak menjadi gila karena pengalaman pahitnya. Inilah manfaat Dhamma yang
dirasakannya. Inilah
bukti
kenyataannya. Ia dapat menyadari bahwa merelakan anaknya lahir kembali adalah
merupakan dana
yang
sangat besar, jauh lebih besar daripada dana yang telah diberikannya selama
ini. Kepergian sang
anak
adalah merupakan bagian dari perjalanan karma. Setelah mendengarkan keterangan
ini, ibu itu mulai
dapat
menenangkan pikirannya. Ketenangan ini muncul karena sang ibu tadi telah
memiliki Dhamma
sebagai
pegangan hidup. Andaikata sang ibu hanya melaksanakan puja bakti saja maka
tidak mungkin ia
akan
kuat menghadapi kematian anaknya yang tragis itu. Sesungguhnya memang puja
bakti bukanlah
penyelesaian
atas suatu permasalahan. Puja bakti hanyalah salah satu usaha untuk
meningkatkan
kebaikan,
kebahagiaan, dan ketenangan. Masalah dapat diselesaikan dengan rajin
mendengarkan,
merenungkan
dan melaksanakan Dhamma.
Bekal
kita yang ketiga setelah kita rajin melakukan Puja Bakti, lalu gemar
mendengarkan Dhamma, maka
ketiga
adalah: suka membabarkan Dhamma dengan mengajak rekan kita berdiskusi Dhamma,
misalnya.
Membabarkan
Dhamma adalah hal yang tidak kalah pentingnya. Apabila pengetahuan dan
pengalaman
Dhamma
kita sudah cukup memadai tetapi tidak pernah diberi kesempatan untuk berkembang
dengan
diskusi
maka pengalaman kita akan lambat tumbuhnya. Ibarat kita senang bermain
badminton tetapi tidak
pernah
mencari lawan tanding, hanya main dengan tembok maka ketrampilan kita tidak
akan
berkembang.
Kita harus mencari lawan tanding. Demikian pula dengan pengalaman Dhamma. Kita
hendaknya
rajin mencari kawan diskusi. Semakin sering kita berdiskusi, semakin bertambah
pula
pengetahuan
Dhamma kita, dan semakin bertambah pula keyakinan kita. Sebenarnya, lawan
diskusi
adalah
teman berpikir. Jadi kalau kita bertemu dengan orang yang sulit mengerti Dhamma
hendaknya
jangan
ia dimusuhi. Ia justru merupakan teman berpikir. Kita hendaknya mencari jalan
dan cara supaya
dia
akhirnya dapat mengerti Dhamma. Jadi, kemana pun kita berada, cobalah berusaha
membuka diskusi
Dhamma
dengan rekan sekitar kita. Hal ini penting sebagai pemacu semangat kita untuk
menambah
pengetahuan
dan keyakinan. Pertanyaan orang lain akan menimbulkan semangat kita untuk
berpikir.
Oleh
karena itu, bila kita telah sering kebaktian, ada yang sudah 50 kali kebaktian
dalam 52 minggu,
bolehlah
disebut lulus. Sedangkan mereka yang frekuensi kebaktiannya masih di bawah 30
kali setahun,
maaf
saja, Saudara masih belum lulus, belum jadi umat Buddha yang baik. Anda masih
termasuk umat
Buddha
tradisi, KTP-nya Buddha, tetapi belum melaksanakan ajaran Sang Buddha. Kualitas
hidup
semacam
itu hendaknya diperbaiki dan ditingkatkan. Kalau perlu, pada penanggalan
Saudara setiap hari
puja
bakti diberi tanda agar selalu ingat pergi ke vihara. Ke vihara untuk Puja
Bakti bukan untuk menjadi
tukang
parkir, menjagai sandal, ataupun hanya untuk ngobrol di luar. Itu tak ada
gunanya, sama dengan
tidak
hadir. Ke vihara hendaknya bukan hanya badan saja yang datang, melainkan juga
pikirannya, juga
telinganya.
Kalau badannya di vihara tetapi telinganya untuk mendengarkan gosip di luar,
itu juga bukan
berarti
kita telah pergi ke vihara. Masih tetap dihitung tidak hadir. Masih belum
termasuk lulus. Berarti
belum
tahu aturan untuk ke vihara. Jadi, kalau pergi ke vihara tandailah kalender
Saudara. Bila telah
Agama
Buddha Pedoman Hidupku hal.
Sumber:
Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
7
genap
satu tahun, hitunglah sudah berapa kali kita ke vihara? Bila sudah ke vihara
sebanyak 40 kali,
bolehlah
dianggap lulus. Namun, bila jumlahnya masih dibawah angka 30, berarti belum
lulus. Jika dapat
hadir
ke vihara sebanyak 52 kali, ini dia! Lulus dengan baik, cum laude. Kiranya,
suatu ketika nanti kita
perlu
mencatat kehadiran umat di vihara, terutama anak-anak. Bila ada anak yang sudah
ke vihara setahun
sebanyak
52 kali, ia hendaknya diberi hadiah oleh vihara. Kiranya hal itu akan mendorong
anak-anak
melakukan
kegiatan yang bermanfaat. Puja bakti, mendengarkan, dan berbagi Dhamma.
Bila
dalam tahun ini kita sudah banyak ke vihara, marilah kita tingkatkan di tahun
mendatang:
mendengarkan
Dhamma dan melaksanakan Dhamma. Namun hal ini juga harus kita selidiki lebih
lanjut.
Sudahkah
saya memiliki banyak pengetahuan Dhamma? Sudahkah saya menjalani Dhamma? Kalau
kita
belum
banyak mendengar Dhamma, belum punya kaset Dhamma, maka persyaratan untuk lulus
masih
kurang.
Jadi, kita harus memiliki buku Dhamma. Sekarang buku sudah ada, kaset Dhamma
juga banyak.
Kalau
Saudara belum memiliki, persyaratan lulus juga masih kurang. Setelah mempunyai
buku Dhamma,
kaset
ceramah Dhamma, sekarang kita renungkan: 'Sudahkah kita mengenalkan Dhamma
kepada orang
lain?'
perilaku ini termasuk pada nomor 3, berdiskusi Dhamma. Dalam setahun, berapa
banyak kita telah
mengenalkan
Dhamma? Kalau masih belum banyak, masih ada kesempatan untuk kita lakukan mulai
sekarang.
Saudara,
tiga hal inilah yang hendaknya kita renungkan dan kita kembangkan. Pertama
adalah rajin
mengikuti
kebaktian sebagai hal yang pokok untuk mendapatkan ketenangan secara
emosional. Kedua:
mendengarkan
Dhamma dan menambah wawasan, sehingga kita punya pegangan hidup
untuk
kehidupan
kita sehari-hari. Dan ketiga: carilah teman diskusi, karena hal itu akan
memperkuat
keyakinan
kita pada ajaran Sang Buddha, sekaligus kita memiliki kesempatan untuk
membagikan
Dhamma
kepada pihak lain. Dalam ajaran Sang Buddha disebutkan bahwa dari semua
pemberian,
Pemberian
Dhamma-lah yang paling tinggi nilainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar