RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA
PENDAHULUAN
Riwayat Hidup Buddha Gotama yang dipaparkan di bawah ini hanyalah
merupakan garis besar dari kehidupan Beliau dari kelahiran-Nya sebagai
Pangeran Siddhattha sampai Parinibbana (kemangkatan mutlak), serta
beberapa peristiwa penting dalam kronologi pembabaran Dhamma oleh-Nya.
KELAHIRAN BODHISATTA
Seorang Pangeran dilahirkan pada bulan purnama penuh di bulan Vesak
(antara bulan Mei dan Juni) di sebuah hutan pohon sala ( shorea robusta )
taman bernama Lumbini di Kapilavatthu, India Utara (sekarang Nepal)
pada sekitar abad ke-6 S.M (secara tradisional tahun 623 S.M. dan
berdasarkan pada penanggalan “sejarah” pada tahun 563 S.M).
Ayahnya adalah Raja Suddhodana seorang bangsawan dari dinasti Sakya
dan ibunya adalah Ratu Mahamaya seorang putri kerajaan dari dinasti
Koliya.
Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodhara yang kelak menjadi
isteri Sang Pangeran, Pangeran Ananda yang kelak menjadi pembantu tetap
Sang Buddha, Channa tang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka
yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak
mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon
Pippala atau disebut Pohon Bodhi ( Ficus Religiosa ), dan munculnya
empat jambangan harta ( Nidhikumbhi ).
Kelahiran sang pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan
termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai
Kaladevala yang merupakan guru pribadi raja. Asita segera berkunjung ke
istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Ketika Petapa Asita
telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (Manusia
Agung) pada bayi tersebut, ia memberikan hormat. Melihat hal ini Raja
pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira tetapi kemudian ia menangis.
Hal ini karena ia merasa bahagia karena Pangeran kelak akan menjadi
seorang Buddha, tetapi ia juga bersedih karena ia tidak bisa
mendengarkan ajarannya karena usianya yang sudah tua dan ia tidak bisa
menunggu bayi tersebut dewasa.
UPACARA PEMBERIAN NAMA
Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Ia diberi nama Siddhattha
(dalam bahasa Pali) atau Siddhartha (dalam bahasa Sanskerta) yang
berarti Tercapailah Segala Cita-cita-Nya, dan dengan nama keluarga
Gotama (dalam bahasa Pali) atau Gautama (dalam bahasa Sanskerta).
Menurut tradisi India kuno maka diadakan upacara pemberian nama
dengan mengundang para brahmana terpelajar. Di antara 108 brahmana yang
diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka. Tujuh di antara
mereka meramalkan ada dua kemungkinan bahwa Pangeran akan menjadi Raja
Dunia atau menjadi seorang Buddha jika Ia melihat empat peristiwa,
yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa suci. Tetapi
Kondanna, satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang paling muda
memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi
seorang Buddha.
WAFATNYA RATU MAHAMAYA
Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu
Mahamaya wafat, dan adiknya Maha Pajapati Gotami yang juga isteri Raja
Suddhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai ratu sekaligus ibu
bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Maha Pajapati
Gotami melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri
bernama Sundari Nanda ( Rupananda ).
Maha Pajapati Gotami merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat
putranya sendiri Pangeran Nanda . Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa
hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.
Setelah Ratu Maha Maya wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Santusita) di surga Tusita .
FESTIVAL MEMBAJAK TANAH
Dalam rangka meningkatkan pertanian, Raja Suddhodana mengadakan
festival pembajakan tanah dan mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang
telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut
membajak bersama-sama dengan para petani.
Pada saat perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang
ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya
perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya dan akhirnya
meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambu. Dan pada saat itu
suasana di sekitar pohon jambu tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga
sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan
meditasi.
Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali melihat
Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya
kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong
datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan mereka pun
menemukan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan
kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi
karena pada saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhana, yaitu keadaan
dimana kesadaran sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu
Raja memberi hormat untuk kedua kalinya kepada putranya tersebut.
MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN
Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat
oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda,
berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika ada
yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan
digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam
perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak.
Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara
Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana
membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan
teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam
Pundarika dengan teratai putihnya.
Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani
pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja
untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang
pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya
kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru
lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah
Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata
bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedanga yang terdiri
dari ilmu fonetik, ilmu persajakan, tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu
perbintangan, dan upacara keagamaan.
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima
dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju,
gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik
dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia
adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya
kepada para guru dan kakak seperguruanNya. Ia juga anak yang terkuat,
tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah
siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan
memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Bodhisatta tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak
ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih
meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam
pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga
menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti
kelinci dan kijang.
WELAS ASIH SANG PANGERAN
Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan
sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya
yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah
pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga
sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh
dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa
tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong si angsa. Pangeran
Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil
terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak
panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu
diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya
terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh
bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan
Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu
karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak
berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran
Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke makamah para
bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa
tersebut.
Setelah diajukan ke makamah para bijak, akhirnya salah satu dari para
bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang
menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh
orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup
dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti
dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”
PERNIKAHAN
Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa
Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran
Siddhattha, berusaha membuat anaknya tersebut merasa nyaman dan bahagia.
Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri anaknya termasuk hal-hal
mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun
tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya – Istana Ramma
untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk
musim hujan.
Pada saat itu Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh
sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Namun perangai-Nya
yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas.
Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana
untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi
singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan
untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran.
Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada
delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk
memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran
dapat memilih salah satunya sebagai isteri.
Berita pemilihan isteri tersebut ditanggapi negatif oleh para
pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki
kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak
memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan
mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana
merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan
permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan
kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan
semua pangeran dan putri Sakya.
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan
semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan
putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa
tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi isteri-Nya.
Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharã,
sepupu-Nya yang cantik, putri Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan
Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG PERTAMA: ORANG TUA
Memasuki usiaNya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha
tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di
sekelilingNya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa
penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok
istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayahNya, Ia akhirnya keluar istana
ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua
sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan
indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal
yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di
sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut
dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak
mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada
kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan
bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama
lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa
dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali
ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota .
Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia
berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya,
dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah
ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan
sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar
tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk
menghibur sang pangeran sepanjang waktu.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG KEDUA: ORANG SAKIT
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada
ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya
diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk
kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya
dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi
selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya
kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua
kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar
sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat
kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan,
panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan
pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah
berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis
tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan
menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang
perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda
hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang
memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini
pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih
pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa.
Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan
bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut
orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah
terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua
orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran
Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu,
bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi
bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran
dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan
kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG KETIGA: ORANG MATI
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah
kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi
sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran
Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat
kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari
keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian
berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak
oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut
mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus
kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh
orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa
mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun
menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati
tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun
mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran
selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi
bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia
kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan
merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia
berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak
seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini.
Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodhara, dan semua kerabat-Ku yang
tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru
pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi
sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar
tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak
terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh
kedelapan brahmana.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG KEEMPAT: PETAPA
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga
pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun,
karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia
menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain
kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja
Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran
pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha
raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari
pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam
istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya
untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan
dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun
untuk menolak permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota
Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk
dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan
kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun
bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran
itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan
berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut
siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia,
tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan
jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa
tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut,
bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas
dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati
untuk mengatasi penderitaan hidup.
LAHIRNYA RÃHULA
Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya
dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa,
seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan
bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar:
“Sebuah belenggu telah terlahir bagi-Ku; ikatan besar telah timbul
bagi-Ku ( Rãhulajãto, bandhanam jãtam )!” Kelahiran tersebut merupakan
halangan karena ia mencintai keluarga dan anak-Nya yang baru lahir. Ia
berpendapat bahwa kemelekatan pada keluarga dan putra-Nya akan
merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan.
Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja
Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “Rãhula”, yang berarti
“belenggu”.
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA
PELEPASAN KEDUNIAWIAN
Keempat peristiwa agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta
besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita
cantik disiapkan untuk melayani sang pangeran untuk merayakan kelahiran
cucu Raja Suddhodana – Rãhula, yang lahir pagi itu.
Sang pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang
berbahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia
berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan
sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan
tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian
dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan
keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan
kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.
MENINGGALKAN ISTANA
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk
bersilang kaki di bangku, lalu melihat sekeliling. Semua gadis penari,
penyanyi, dan pemusik tengah tidur mlang melintang di lantai kamar itu.
Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; mereka semua tak
ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tak melekat pada kelima objek kenikmatan
indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun
sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk
meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia lalu meninggalkan kamar itu
perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan
membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha
membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan
beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang
kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu
menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan
keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil
memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodhara dan
menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia
tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan tidak mengijinkan-Nya
pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup
pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana
kediaman-Nya. Pada malam purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29
tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha
meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir
pada hari yang sama dengan sang pangeran, ikut meninggalkan istana
dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos
ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
MEMOTONG RAMBUT
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat
dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul
pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu
dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir
kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya
dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta.
Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan,
yaitu: Sãkya, Koliya, dan Malla. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak
sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil)
Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anoma dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung
Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama
dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya
seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi
Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan
Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang
dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu
ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang
lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia
memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa
memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta
tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi
meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu,
tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan.
Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya
melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis.
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA
MENJALANI PERTAPAAN
Setelah menjadi petapa, Bodhisatta tinggal di hutan mangga yang
disebut Anupiya tidak jauh dari Sungai Anomã selama 7 hari pertama, dan
kemudian Ia pergi menuju ke Rajagaha, ibukota Kerajaan Magadha. Di
Rajagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisara yang akan memberikan separuh
kekuasaannya setelah mengetahui identitas Bodhisatta.
Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan dengan menuruni Bukit Pandava
dan menuju ke Kota Vesali, tempat seorang guru agama yang ternama, Alara
Kalama yang tinggal bersama para siswanya. Di sana Bodhisatta bergabung
dan menjadi siswa dari Alara Kalama.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa,
Bodhisatta telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Alara Kalama
bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Namun setelah
merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan
bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada
Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk
melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati,
usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Kemudian Bodhisatta meninggalkan Vesali dan berjalan menuju Negeri
Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahi, dan sejenak kemudian sampai di
sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh
seorang guru agama yang sangat dihormati. Bernama Uddaka Ramaputta
(Uddaka, putra Rama). Kemudian Bodhisatta pun bergabung dan menjadi
siswa dari Uddaka Ramaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Ia mampu
menguasai ilmu yang diajarkan oleh Uddaka Ramaputta bahkan melampauinya.
Namun, Bodhisatta segera mengetahui bahwa pencapaian-Nya itu bukanlah
apa yang Ia cari. Karena tidak puas dengan pencapaian-Nya itu. Ia
meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta.
PRAKTIK PERTAPAAN YANG KERAS
Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta, Petapa Gotama menuju
ke Senanigama (kota niaga Senani) di Hutan Uruvela. Ketika disanalah
Petapa Gotama bertemu dengan 5 orang petapa (pancavaggiya) yang terdiri
dari Kondanna, Vappa, Mahanama, Assaji dan Bhaddiya.
Selama di Hutan Uruvela, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang
paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa.
Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai
padhana-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang
tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya
tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku
mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan
melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih
untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama
sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur
menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena
kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul
seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut asitika atau
kala (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).
Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan
tiba pada tahap kritis dimana Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu
hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya
dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan
berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala kebetulan
lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama. Setelah membangunkan Petapa
Gotama, anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya.
MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN
Pada suatu sore, Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia telah pulih
kembali dan merasa lebih segar setelah jatuh pingsan pada hari
sebelumnya – berkat susu kambing yang diberikan oleh anak laki-laki
gembala itu. Jika tidak demikian, pastilah Ia sudah mati. Tatkala
merenung seperti itu, sekelompok gadis penyanyi yang tengah berjalan
menuju kota berlalu di dekat tempat Ia bermeditasi. Seraya berjalan,
mereka berdendang: “Jika dawai kecapi ditala terlalu longgar, suaranya
tak akan muncul. Jika dawai ditala terlalu kencang, dawai akan putus.
Jika dawai ditala tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang,
kecapi akan menghasilkan suara merdu.”
Batin Petapa Gotama sungguh tergugah oleh syair tembang yang
dilantunkan para gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan
indrawi dengan segala kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu.
Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian
pula Pencerahan tak akan tercapai dengan pemanjaan diri. Ia juga telah
menjalankan tapa sedemikian ketat hingga hampir mati. Sebagaimana halnya
dawai kecapi yang ditala terlalu kencang, demikian pula Pencerahan tak
dapat dicapai melalui penyiksaan diri.
Waktu itu adalah hari pertama bulan mati, Vesak, 588 S.M, ketika
timbul pemikiran dalam diri Petapa Gotama yang menyadari bahwa praktik
keras yang Ia lakukan selama ini tidaklah membawa pada Pencerahan.
Setelah berpikir demikian, sejak saat itu Petapa Gotama selalu menuju ke
kota niaga Senani untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi
guna memulihkan kondisi tubuhnya. Dengan demikian Ia bisa melanjutkan
pencarianNya dengan menggunakan latihan pengembangan anapana bhavana
(meditasi memperhatikan napas) yang telah Ia lakukan semasa kecil di
hari “Perayaan Bajak Kerajaan” yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja
Suddhodana.
Kelima petapa, yang selama ini melayani Bodhisatta selama enam tahun
dengan pengharapan yang tinggi, mulai berpikir: “Apa pun kebenaran yang
telah disadari oleh Bodhisatta akan diajarkan-Nya kepada kami.” Namun
sekarang, ketika tampak oleh mereka bahwa Bodhisatta telah mengubah cara
latihan-Nya dengan menerima makanan apa pun yang dipersembahkan
untuk-Nya, mereka menjadi muak dan menggerutu: “Bodhisatta telah
memanjakan diri sendiri; Ia telah berhenti berjuang dan kembali
menikmati kemewahan.”
Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Migadaya,
Taman Rusa, di Isipatana, dekat Bãranasi (Benares). Setelah para petapa
yang melayani-Nya meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri
di Hutan Uruvela. Walaupun kehadiran mereka semasa perjuangan keras-Nya
cukup membantu, namun Ia tidak berkecil hati ditinggalkan sendirian
sekarang; malahan ini menguntungkan diri-Nya. Ia berdiam dalam suasana
yang sangat terpencil, yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar
biasa serta pengembangan konsentrasi-Nya.
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA
PENCAPAIAN PENCERAHAN SEMPURNA
Setelah Petapa Gotama menerima persembahan nasi susu dari Sujata di
pagi hari, pada hari keempat belas bulan Vesak, 588 S.M, Bodhisatta
kemudian pergi menuju hutan sala di tepi Sungai Neranjara. Di sana Ia
beristirahat sejenak dan melewati sisa hari itu di bawah naungan rindang
sebatang pohon sãla sambil berkonsentrasi dalam anapana bhavana. Pada
senja sore hari itu, kala udara terasa sejuk dan angin berhembus
sepoi-sepoi, Ia menuju ke Hutan Gaya, ke kaki pohon bodhi (Pali:
assattha; Latin: Ficus religiosa).
Dalam perjalanan, Ia bertemu dengan seorang penyabit rumput bernama
Sotthiya, yang tengah datang dan arah yang berlawanan seraya memikul
rumput. Dia sangat terkesan oleh penampilan agung Petapa Gotama. Setelah
tahu bahwa Petapa Gotama memerlukan sedikit rumput, dia lalu
mempersembahkan delapan genggam rumput kusa kepada-Nya.
Sesampainya di pohon bodhi, Petapa Gotama memeriksa sekeliling untuk
mencari tempat yang sesuai untuk bermeditasi. Setelah itu, Petapa Gotama
duduk bersilang kaki dengan menghadap ke timur. Ia menyatakan tekad-Nya
yang bulat: “Walaupun hanya kulit, urat daging, dan tulang-Ku yang
tertinggal! Biarpun seluruh tubuh, daging, dan darah-Ku mengering dan
berkerut! Aku tidak akan bangkit dari tempat duduk ini kecuali dan
sampai Aku mencapai Kebuddhaan!”
Setelah mengalami pergulatan batin yang berat selama beberapa waktu,
akhirnya Petapa Gotama berhasil menundukkan rasa ngeri, keinginan
duniawi, niat buruk, dan kekejaman. Kemenangan-Nya atas pergulatan batin
ditandai dengan berjajarnya bulan purnama yang tengah menyingsing di
ufuk timur dengan bulatan merah matahari yang tengah terbenam di ufuk
barat. Bodhisatta akhirnya mengetahui bahwa itulah saat yang tepat untuk
meneruskan perjuangan-Nya mencapai Pencerahan Agung. Pada malam bulan
purnama, bulan Vesak, 588 M, Bodhisatta tetap duduk tenang memusatkan
perhatian-Nya.
Setelah Ia memasuki jhana pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam
meditasi-Nya, pikiran-Nya yang terkonsentrasi menjadi murni, cermelang,
tanpa noda, tanpa cacat, mudah ditempa, mudah dikendalikan, serta tak
tergoyahkan. Saat itu Ia mengarahkan pikiran-Nya dan mencapai tiga
pengetahuan.
Pengetahuan pertama merupakan pengetahuan melihat dengan jelas dan
rinci kelahiran-kelahiran-Nya yang terdahulu (pubbenivasanussati ñana).
Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 sampai
22.00.
Pengetahuan kedua merupakan pengetahuan melihat dengan jelas kematian
dan tumimbal lahir kembali makhluk hidup (dibbacakkhu ñana). Ia melihat
makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali dalam kondisi rendah dan
mulia, cantik dan buruk, mujur dan sial. Hal ini terjadi pada waktu jaga
kedua, yaitu antara jam 22.00 sampai 02.00.
Pengetahuan ketiga merupakan pengetahuan akan penghancuran noda
(asavakkhaya ñãna). Ia mengetahui secara langsung segala sesuatu
sebagaimana adanya. Ia menyadari dan mencerap bahwa pikiran-Nya terbebas
dari noda keinginan indrawi, noda kehidupan, dan noda kebodohan batin.
Dan ketika Ia terbebas, muncullah pengetahuan bahwa Ia telah terbebas.
Ia menyadari langsung bahwa kelahiran-Nya sudah dihancurkan; hidup suci
sudah dijalankan; apa yang harus dilakukan sudah dilakukan; tiada lagi
kelahiran kembali di alam mana pun juga. Hal ini terjadi pada waktu jaga
ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Ia mengetahui bahwa
“inilah penderitaan”, bahwa “inilah sumber penderitaan”, bahwa “inilah
berakhirnya penderitaan”, dan bahwa “inilah jalan menuju akhirnya
penderitaan”.
Dengan tercapainya Pengetahuan Sejati Ketiga maka Bodhisatta mencapai
Arahatta-Magga, menjadi Yang Sadar (Buddha), Yang Terberkahi (Bhagava),
Yang Tercerahkan Sempurna (Sammasambuddha). Seiring dengan
Pencerahan-Nya, Buddha juga memperoleh penegtahuan sempurna tentang
Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani).
Demikianlah menjelang fajar pada hari bulan purnama, Vesak 588 S.M,
pada usia tiga puluh lima tahun, Bodhisatta mencapai Kemahatahuan dan
menjadi Buddha dari tiga dunia dengan usaha-Nya sendiri.
UNGKAPAN KEBAHAGIAAN
Dengan tercapainya Pencerahan Sempurna, Sang Buddha mengungkapkan
kebahagiaan-Nya dengan melontarkan dua bait syair nyanyian pujian
kebahagiaan (udana).
“Tak terhingga kali kelahiran telah Kulalui
Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini.
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!”
Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini.
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!”
“O pembuat rumah! Sekarang engkau telah terlihat!
Engkau tak dapat membuat rumah lagi!
Semua kasaumu telah dihancurkan!
Batang bubunganmu telah diruntuhkan!
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi!
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”
Engkau tak dapat membuat rumah lagi!
Semua kasaumu telah dihancurkan!
Batang bubunganmu telah diruntuhkan!
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi!
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA
PEMUTARAN RODA DHAMMA
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, muncul dalam pikiran-Nya
mengenai betapa dalamnya, sungguh halus Dhamma yang telah ditemukan-Nya.
Ia mempertanyakan apakah manusia dapat memahaminya. Namun setelah
dengan welas asih-Nya Ia melihat bahwa ada manusia yang dapat memahami
Dhamma yang ditemukan-Nya, maka Sang Bhagava memiliki niat kuat untuk
menyebarkan Dhamma. Kemudian Ia berkata: “Pintu menuju tiada kematian,
Nibbana, sekarang telah tebuka. Akan Kubabarkan Dhamma kepada semua
makhluk agar mereka yang memiliki keyakinan dan pendengaran yang baik
bisa sama-sama memetik manfaatnya.”
Setelah memantapkan niat untuk mengajarkan Dhamma, Sang Bhagava lalu
menimbang-nimbang kepada siapakah Ia perlu mengajarkan Dhamma untuk
pertama kalinya, siapakah yang akan segera memahami Dhamma yang Ia
temukan. Lalu Ia berpikir bahwa Alara Kalama, salah satu guru-Nya adalah
orang yang bijaksana, terpelajar, dan berpikiran tajam, serta sedikit
debu saja di matanya. Jika Ia mengajarkan Dhamma pertama kalinya
kepadanya, Alara Kalama akan segera memahaminya. Namun kemudian Sang
Bhagava mengurungkan niat-Nya setelah menyadari bahwa Alara Kalama telah
meninggal tujuh tahun yang lalu.
Kemudian, Sang Bhagava berpikir tentang guru-Nya yang lain, Uddaka
Ramaputta, namun lagi-lagi Sang Bhagava mengurungkan niat-Nya setelah
menyadari bahwa Uddaka Ramaputta telah meninggal kemarin malam.
Akhirnya Sang Bhagava memikirkan kelima petapa (pancavaggiya) yang
melayani-Nya semasa Ia melakukan tapa berat di Hutan Uruvela. Dengan
Mata Buddha-Nya yang murni melampaui kemampuan pandang manusia, Ia
mengetahui bahwa mereka tengah berdiam di Taman Rusa di Isipatana, di
Petirahan Para Waskita, dekat Baranasi. Demikianlah, setelah tinggal di
Uruvela selama yang dikehendaki-Nya, Ia berjalan menuju Baranasi, yang
berjarak delapan belas yojana.
LIMA SISWA PERTAMA
Pada senja yang sejuk, hari bulan purnama Asalha, 588 S.M, Sang
Bhagava tiba di Migadaya, Taman Rusa di Isipatana. Kemudian, ketika
kelima petapa melihat Sang Bhagava semakin dekat, mereka mulai
memperhatikan bahwa Ia tidak tampak seperti Petapa Gotama yang dulu
mereka layani di Hutan Uruvela selama enam tahun. Mereka melihat bahwa
tubuh-Nya bercahaya cemerlang tiada banding, dan mereka juga mendapatkan
kesan tenteram dan damai dari diri-Nya. Tak seorang pun di antara
mereka yang sadar apa yang tengah terjadi karena mereka akhirnya tak
kuasa menaati kesepakatan awal mereka yang menolak menghormati-Nya.
Dengan segera mereka berdiri. Salah satu mendekati-Nya dan membawakan
mangkuk serta jubah luar-Nya; yang lain menyiapkan tempat duduk; yang
lainnya membawakan air, tatakan kaki, dan handuk untuk mencuci kaki-Nya.
Dan setelah Sang Bhagava duduk, mereka memberikan hormat dan
menyapa-Nya.
Setelah itu, Sang Bhagava menyatakan bahwa diri-nya telah berhasil
mengatasi kelahiran dan kematian dalam hidup ini dan akan mengajarkan
Dhamma yang Ia temukan kepada mereka. Dan setelah kelima petapa itu
dapat diyakinkan oleh Sang Bhagava, kelima petapa itu duduk diam, dan
siap menerima petunjuk-Nya.
Sang Bhagava membabarkan kotbah pertama-Nya, Dhammacakkappavattana
Sutta (Kotbah Mengenai Pemutaran Roda Dhamma). Dalam khotbah ini, Sang
Bhagava membabarkan kepada kelima petapa tersebut bahwa terdapat dua
ekstrem – yaitu pemanjaan diri dan penyiksaan diri – yang harus
dihindari oleh orang yang telah meninggalkan keduniawian. Ia membabarkan
Empat Kebenaran Mulia. Ia juga menunjukkan latihan Jalan Tengah, yang
terdiri dan delapan faktor, yaitu Jalan Mulia Berfaktor Delapan.
Kelima petapa mendengarkan dengan saksama dan membuka hati mereka
terhadap ajaran-Nya. Dan ketika khotbah itu tengah dibabarkan, pandangan
tanpa noda dan murni terhadap Dhamma muncul dalam diri Kondañña. Ia
memahami: “Apa pun yang muncul, pasti akan berlalu (yam kiñci
samudayadhammam sabbam tam nirodhadhammam)”. Demikianlah, ia menembus
Empat Kebenaran Mulia dan mencapai tataran kesucian pertama (Sotapatti)
pada akhir pembabaran itu. Karena itu, ia juga dikenal sebagai Aññata
Kondañña – Kondañña yang mengetahui. Lalu ia memohon penahbisan lanjut
(upasampada) kepada Sang Bhagava. Untuk itu, Sang Bhagava menahbiskannya
dengan berkata: “Mari, Bhikkhu! Dhamma telah dibabarkan dengan
sempurna. Jalanilah hidup suci demi berakhirnya penderitaan secara
penuh”. Dengan demikian, ia menjadi bhikkhu pertama dalam Buddha Sasana
melalui penahbisan Ehi Bhikkhu Upasampadã, “Penahbisan Mari Bhikkhu”.
Setelah itu, tatkala ketiga petapa lainnya pergi menerima dana
makanan, Sang Bhagava mengajarkan dan memberikan bimbingan Dhamma kepada
Vappa dan Bhaddiya. Mereka akhirnya menjadi murni dan mencapai tataran
kesucian Sotapatti. Dengan segera mereka memohon untuk ditahbiskan
sebagai bhikkhu di bawah bimbingan¬Nya. Keesokan harinya, Mahanama dan
Assaji juga menembus Dhamma dan menjadi Sotapanna. Tanpa jeda lagi
mereka juga memohon penahbisan lanjut dari Sang Bhagava dan menjadi
bhikkhu. Dengan demikian, kelima petapa itu menjadi lima siswa bhikkhu
yang pertama, yang juga dikenal sebagai “Bhikkhu Pancavaggiya” Sejak
saat itu, Persamuhan Bhikkhu (Sangha Bhikkhu) terbentuk.
Setelah kelima bhikkhu itu menjadi Sotapanna, pada hari kelima Sang
Bhagava membabarkan Anattalakkhana Sutta (Khotbah Mengenai Tiadanya Inti
Diri), yang dibabarkan sebagai tanya-jawab antara Sang Bhagava dan
kelima siswa suci-Nya. Pada intinya, Ia menyatakan bahwa bentuk (rüpa),
perasaan (vedanna), pencerapan (sañña), bentukan batin (sañkhara), dan
kesadaran (viññana) adalah selalu berubah; dan apa yang selalu berubah
tidaklah memuaskan (dukkha). Kemudian, kesemuanya ini yang selalu
berubah dan tidak memuaskan, harus dilihat sebagaimana adanya dengan
pengertian benar: “Ini bukan milikku (n’etam mama); ini bukan aku
(n’eso’hamasmi); ini bukan diriku (na m’eso atta)”.
Mendengar kata-kata-Nya, kelima bhikkhu tersebut menjadi gembira dan bahagia. Dan setelah Sang Bhagava membabarkan khotbah mi, pikiran mereka terbebas dan kotoran batin, tanpa kemelekatan; mereka mencapai tataran Arahat.
Mendengar kata-kata-Nya, kelima bhikkhu tersebut menjadi gembira dan bahagia. Dan setelah Sang Bhagava membabarkan khotbah mi, pikiran mereka terbebas dan kotoran batin, tanpa kemelekatan; mereka mencapai tataran Arahat.
PARA MISIONARI BUDDHIS PERTAMA
Setelah Sang Bhagava memberikan Pencerahan kepada kelima Petapa,
Beliau bersama kelima siswa pertama-Nya itu berdiam di Taman Rusa di
Isipatana untuk melewati musim hujan. Dan ketika Sang Bhagava sedang
berjalan-jalan ditempat terbuka, Ia bertemu putra seorang saudagar kaya,
bernama Yasa yang mengalami kegundahan batin terhadap kehidupannya dan
pergi dari rumahnya. Yasa tidak lain adalah putra dari Sujata dari
Senanigama, seorang wanita yang pernah mempersembahkan nasi susu kepada
Bodhisatta sebelum Pencerahan-Nya.
Setelah bertemu dengan Sang Bhagava, Yasa mendengarkan Dhamma yang
dibabarkan oleh Sang Bhagava dengan saksama. Dan ketika batinnya sudah
siap, bisa menerima, bebas rintangan, bersemangat, dan yakin, Sang
Bhagava membabarkan Empat Kebenaran Arya.
Ketika ayah Yasa mencari putranya yang telah pergi dari rumah, ia pun
bertemu dengan Sang Bhagava. Kemudian Sang Bhagava juga mengajarkannya
ajaran bertahap dan Empat Kebenaran Arya seperti yang telah
dilakukan-Nya terhadap Yasa. Setelah pembabaran Dhamma selesai, ayah
Yasa mencapai Sotapanna dan berlindung pada Tiratana (Buddha, Dhamma dan
Sangha), dan Yasa pun mencapai tataran Arahat dan menjadi bhikkhu.
Selanjutnya berturut-turut, keluarga ibu Yasa dan mantan istri Yasa
menembus Dhamma dan menjadi Sotapanna setelah Sang Bhagava mengajarkan
Dhamma kepada mereka ketika ayah Yasa mengundang Sang Bhagava ke
rumahnya.
Begitu pula kelima puluh empat teman Yasa yang empat diantaranya
adalah sahabat karib Yasa yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan
Gavampati, mereka juga menerima pengajaran dari Sang Bhagava, menerima
penahbisan menjadi bhikkhu, dan mencapai tataran Arahat.
Demikianlah, pada saat itu terdapat enam puluh satu Arahat di dunia,
yaitu, Buddha, Bhikkhu Pancavaggiya, Bhikkhu Yasa, dan kelima puluh
empat sahabat Yasa.
Pada saat berakhirnya tiga bulan masa kediaman musim hujan (vassana),
Sang Bhagava telah mencerahkan enam puluh tiga orang. Di antara mereka,
enam puluh orang mencapai tataran Arahat dan memasuki Persamuhan
Bhikkhu, sementara yang lainnya – ayah, ibu, dan mantan istri Yasa
menjadi Sotapanna dan terkukuhkan sebagai siswa awam sampai akhir hayat
mereka. Kemudian, Sang Bhagava bermaksud menyebarkan Dhamma kepada semua
makhluk di alam semesta, tanpa memandang apakah mereka adalah dewa
ataupun manusia, tanpa memandang apakah mereka berkasta tinggi, rendah,
atau paria; tanpa memandang apakah mereka raja ataupun pelayan, kaya
ataupun miskin, cantik ataupun buruk, sehat ataupun sakit, patuh ataupun
tidak patuh pada hukum.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada keenam puluh bhikkhu Arahant
tersebut: “Para Bhikkhu, Saya telah terbebas dan semua ikatan yang
mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Kalian juga telah
terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa
maupun manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan
kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada dunia, demi
kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia (caratha,
bhikkhave, carikam bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya
atthtaya hitaya sukhaya devamanussanam). Janganlah pergi berdua dalam
satu jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya,
indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna maupun
isinya. Serukanlah hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada
makhluk dengan sedikit debu di mata yang akan tersesat karena tidak
mendengarkan Dhamma. Ada mereka yang mampu memahami Dhamma. Para
Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvela di Senanigama untuk
membabarkan Dhamma.”
Demikianlah, Yang Terberkahi mengutus keenam puluh siswa¬Nya yang
telah tercerahkan untuk mengembara dan satu tempat ke tempat lain. Ini
menandakan karya misionari pertama dalam sejarah umat manusia. Mereka
menyebarluaskan Dhamma yang luhur atas dasar welas asih terhadap makhluk
lain dan tanpa mengharapkan pamrih apa pun. Mereka membahagiakan orang
dengan mengajarkan moralitas, memberikan bimbingan meditasi, dan
menunjukkan manfaat hidup suci.
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA
EMPAT PULUH LIMA TAHUN MEMBABARKAN DHAMMA
Setelah Sang Bhagava mengutus keenam puluh siswaNya, Beliau sendiri
tetap melanjutkan pembabaran Dhamma tanpa kenal lelah selama empat puluh
lima tahun. Selama dua puluh tahun pertama masa pembabaran Dhamma ini,
Sang Bhagava melewatkan masa berdiam musim hujan di berbagai tempat.
Namun, selama dua puluh lima tahun terakhir, Ia melewatkan sebagian
besar masa berdiam-Nya di Savatthi. Berikut adalah kronologi pembabaran
Dhamma oleh Buddha selama empat puluh lima tahun.
Tahun Pertama (588 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Migadaya (Taman Rusa), Isipatana, di dekat Baranasi.
Tempat kediaman musim hujan:
Migadaya (Taman Rusa), Isipatana, di dekat Baranasi.
Peristiwa utama:
Buddha membabarkan sutta pertama Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhana Sutta, dan Adittapariyaya Sutta; mengalihyakinkan kelima petapa (Pancavaggiya); mendirikan Persamuhan (Sangha) Bhikkhu dan Tiga Pernaungan (Tisarana); mengalihyakinkan Yasa dan kelima puluh empat sahabatnya; mengutus para misionari pertama; mengalihyakinkan ketiga puluh pangeran Bhaddavaggiya mengalihyakinkan ketiga Kassapa bersaudara beserta seribu orang pengikut mereka.
Buddha membabarkan sutta pertama Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhana Sutta, dan Adittapariyaya Sutta; mengalihyakinkan kelima petapa (Pancavaggiya); mendirikan Persamuhan (Sangha) Bhikkhu dan Tiga Pernaungan (Tisarana); mengalihyakinkan Yasa dan kelima puluh empat sahabatnya; mengutus para misionari pertama; mengalihyakinkan ketiga puluh pangeran Bhaddavaggiya mengalihyakinkan ketiga Kassapa bersaudara beserta seribu orang pengikut mereka.
Tahun Kedua Sampai Keempat (587 – 585 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama (Vihara Hutan Bambu), di dekat Rajagaha.
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama (Vihara Hutan Bambu), di dekat Rajagaha.
Peristiwa utama:
Buddha memenuhi janji kepada Raja Bimbisara; menerima Vihara Veluvana sebagai pemberian dana; menyabdakan Ovada Patimokkha; menunjuk Sariputta dan Moggallana sebagai siswa bhikkhu utama (agga savaka); mengunjungi Kapilavatthu; mempertunjukkan mukjizat ganda (yamaka patihariya); menahbiskan Pangeran Rahula dan Pangeran Nanda; mengukuhkan Raja Suddhodana, Ratu Mahapajapati Gotami, serta Yasodhara ke dalam arus kesucian; menahbiskan keenam pangeran Sakya; bertemu dengan Anathapindika; menerima Vihara Jetavana sebagai pemberian dana; bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala, mendamaikan sengketa antara suku Sakya dan Koliya; membabarkan Mahasamaya Sutta.
Buddha memenuhi janji kepada Raja Bimbisara; menerima Vihara Veluvana sebagai pemberian dana; menyabdakan Ovada Patimokkha; menunjuk Sariputta dan Moggallana sebagai siswa bhikkhu utama (agga savaka); mengunjungi Kapilavatthu; mempertunjukkan mukjizat ganda (yamaka patihariya); menahbiskan Pangeran Rahula dan Pangeran Nanda; mengukuhkan Raja Suddhodana, Ratu Mahapajapati Gotami, serta Yasodhara ke dalam arus kesucian; menahbiskan keenam pangeran Sakya; bertemu dengan Anathapindika; menerima Vihara Jetavana sebagai pemberian dana; bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala, mendamaikan sengketa antara suku Sakya dan Koliya; membabarkan Mahasamaya Sutta.
Tahun Kelima (584 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Kutagarasala (Balairung Puncak), Mahavana, di dekat Vesali.
Tempat kediaman musim hujan:
Kutagarasala (Balairung Puncak), Mahavana, di dekat Vesali.
Peristiwa utama:
Wafatnya Raja Suddhodana; Sang Bhagava mengizinkan Ratu Mahapajapati Gotami bersama kelima ratus putri untuk menjadi bhikkhuni; mendirikan Sangha Bhikkhuni; membabarkan Dakkhinavibanga Sutta.
Wafatnya Raja Suddhodana; Sang Bhagava mengizinkan Ratu Mahapajapati Gotami bersama kelima ratus putri untuk menjadi bhikkhuni; mendirikan Sangha Bhikkhuni; membabarkan Dakkhinavibanga Sutta.
Tahun Keenam (583 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Mankulapabbata (Bukit Mankula), di dekat Kosambi.
Tempat kediaman musim hujan:
Mankulapabbata (Bukit Mankula), di dekat Kosambi.
Peristiwa utama:
Ratu Khema menjadi bhikkhuni dan kemudian ditunjuk sebagai salah satu dari kedua siswi bhikkhuni utama dengan Uppalavanna; Sang Bhagava melarang mempertunjukkan mukjizat demi keuntungan pribadi dan harga diri mereka sendiri; melakukan mukjizat ganda.
Ratu Khema menjadi bhikkhuni dan kemudian ditunjuk sebagai salah satu dari kedua siswi bhikkhuni utama dengan Uppalavanna; Sang Bhagava melarang mempertunjukkan mukjizat demi keuntungan pribadi dan harga diri mereka sendiri; melakukan mukjizat ganda.
Tahun Ketujuh (582 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Surga Tavatimsa.
Tempat kediaman musim hujan:
Surga Tavatimsa.
Peristiwa utama:
Buddha melakukan mukjizat; membabarkan Abhidhamma di Surga Tavatimsa; Sang Bhagava difitnah oleh Cincamanavika.
Buddha melakukan mukjizat; membabarkan Abhidhamma di Surga Tavatimsa; Sang Bhagava difitnah oleh Cincamanavika.
Tahun Kedelapan (581 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Bhesakalavana (Hutan Bhesakala), di dekat Surmsumaragiri, Distrik Bhagga.
Tempat kediaman musim hujan:
Bhesakalavana (Hutan Bhesakala), di dekat Surmsumaragiri, Distrik Bhagga.
Peristiwa utama:
Pangeran Bodhirajakumara mengundang Sang Bhagava ke Kokanada, istana barunya, untuk menerima dana makanan; Sang Bhagava membabarkan Punnovada Sutta; Punna mengunjungi Sunaparanta.
Pangeran Bodhirajakumara mengundang Sang Bhagava ke Kokanada, istana barunya, untuk menerima dana makanan; Sang Bhagava membabarkan Punnovada Sutta; Punna mengunjungi Sunaparanta.
Tahun Kesembilan (580 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Ghositarãma (Wihar2 Ghosita), Kosambi.
Tempat kediaman musim hujan:
Ghositarãma (Wihar2 Ghosita), Kosambi.
Peristiwa utama:
Magandiya membalas dendam; sengketa para bhikkhu di Kosambi.
Magandiya membalas dendam; sengketa para bhikkhu di Kosambi.
Tahun kesepuluh (579 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Hutan Rakkhita, di dekat Desa Parileyyaka.
Tempat kediaman musim hujan:
Hutan Rakkhita, di dekat Desa Parileyyaka.
Peristiwa utama:
Karena terjadi sengketa yang berkepanjangan di antara para bhikkhu di Kosambi, Sang Bhagava akhirnya menyendiri di Hutan Rakkhita, di dekat Desa Parileyyaka, ditemani oleh gajah Parileyyaka. Pada penghujung kediaman musim hujan tersebut Ananda, atas nama para warga Savatthi, mengundang Sang Bhagava untuk kembali ke Savatthi. Para bhikkhu Kosambi yang bersengketa tersebut kemudian memohon maaf kepada Sang Bhagava dan kemudian menyelesaikan sengketa mereka.
Karena terjadi sengketa yang berkepanjangan di antara para bhikkhu di Kosambi, Sang Bhagava akhirnya menyendiri di Hutan Rakkhita, di dekat Desa Parileyyaka, ditemani oleh gajah Parileyyaka. Pada penghujung kediaman musim hujan tersebut Ananda, atas nama para warga Savatthi, mengundang Sang Bhagava untuk kembali ke Savatthi. Para bhikkhu Kosambi yang bersengketa tersebut kemudian memohon maaf kepada Sang Bhagava dan kemudian menyelesaikan sengketa mereka.
Tahun Kesebelas (578 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Dakkhinagiri, desa tempat tinggal Brahmin Ekanala.
Tempat kediaman musim hujan:
Dakkhinagiri, desa tempat tinggal Brahmin Ekanala.
Peristiwa utama:
Buddha mengalihyakinkan Brahmin Kasi Bharadvaja; menuju ke Kammasadamma di Negeri Kuru serta membabarkan Mahasatipatthana Sutta dan Mahanidana Sutta.
Buddha mengalihyakinkan Brahmin Kasi Bharadvaja; menuju ke Kammasadamma di Negeri Kuru serta membabarkan Mahasatipatthana Sutta dan Mahanidana Sutta.
Tahun Kedua Belas (577 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veranja.
Tempat kediaman musim hujan:
Veranja.
Peristiwa utama:
Sang Bhagava memenuhi undangan seorang brahmin di Veranja untuk melewatkan kediaman musim hujan sana. Sayangnya, waktu itu terjadi bencana kelaparan di sana. Akibatnya, Sang Bhagava dan para siswa-Nya hanya memperoleh makanan mentah yang biasanya diberikan kepada kuda yang dipersembahkan oleh sekelompok pedagang kuda.
Sang Bhagava memenuhi undangan seorang brahmin di Veranja untuk melewatkan kediaman musim hujan sana. Sayangnya, waktu itu terjadi bencana kelaparan di sana. Akibatnya, Sang Bhagava dan para siswa-Nya hanya memperoleh makanan mentah yang biasanya diberikan kepada kuda yang dipersembahkan oleh sekelompok pedagang kuda.
Tahun Ketiga Belas (576 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Caliyapabbata (Batu Cadas Caliya).
Tempat kediaman musim hujan:
Caliyapabbata (Batu Cadas Caliya).
Peristiwa utama:
Setelah melewati kediaman musim hujan, Sang Bhagava menuju ke Bhaddiya untuk mengalihyakinkan sang hartawan Mendaka beserta istrinya yaitu Candapaduma, putranya yaitu Dhananjaya, menantunya yaitu Sumanadevi, pembantunya yaitu Punna, serta Visakha – cucu putrinya yang berumur tujuh tahun; mengalihyakinkan Siha, seorang panglima di Vesali yang sekaligus merupakan pengikut Nigantha Nataputta; membabarkan Maha Rahulovada Sutta.
Setelah melewati kediaman musim hujan, Sang Bhagava menuju ke Bhaddiya untuk mengalihyakinkan sang hartawan Mendaka beserta istrinya yaitu Candapaduma, putranya yaitu Dhananjaya, menantunya yaitu Sumanadevi, pembantunya yaitu Punna, serta Visakha – cucu putrinya yang berumur tujuh tahun; mengalihyakinkan Siha, seorang panglima di Vesali yang sekaligus merupakan pengikut Nigantha Nataputta; membabarkan Maha Rahulovada Sutta.
Tahun Keempat Belas (575 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Vihara Jetavana, Savatthi.
Tempat kediaman musim hujan:
Vihara Jetavana, Savatthi.
Peristiwa utama:
Rahula, putra dari Pangeran Siddhattha yang kini menjadi Buddha, menerima penahbisan lanjut; Sang Bhagava membabarkan Cula Rahulovada Sutta, Vammika Sutta, dan Suciloma Sutta.
Rahula, putra dari Pangeran Siddhattha yang kini menjadi Buddha, menerima penahbisan lanjut; Sang Bhagava membabarkan Cula Rahulovada Sutta, Vammika Sutta, dan Suciloma Sutta.
Tahun Kelima Belas (574 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Nigrodharama Nigrodha (Taman Nigrodha), Kapilavatthu.
Tempat kediaman musim hujan:
Nigrodharama Nigrodha (Taman Nigrodha), Kapilavatthu.
Peristiwa utama:
Wafatnya Raja Suppabuddha, ayah-mertua Pangeran Siddhattha (Sang Buddha).
Wafatnya Raja Suppabuddha, ayah-mertua Pangeran Siddhattha (Sang Buddha).
Tahun Keenam Belas (573 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Kota Alavi.
Tempat kediaman musim hujan:
Kota Alavi.
Peristiwa utama:
Sang Bhagava mengalihyakinkan Yaksa Alavaka.
Sang Bhagava mengalihyakinkan Yaksa Alavaka.
Tahun Ketujuh Belas (572 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama, Kalandakanivapa (suaka alam tempat memberi makan tupai hitam), di dekat Rajagaha.
Tempat kediaman musim hujan:
Veluvanarama, Kalandakanivapa (suaka alam tempat memberi makan tupai hitam), di dekat Rajagaha.
Peristiwa utama:
Buddha membabarkan Singalovada Sutta kepada perumah tangga muda Singalaka.
Buddha membabarkan Singalovada Sutta kepada perumah tangga muda Singalaka.
Tahun Kedelapan Belas Sampai Kesembilan Belas (571 – 570 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Caliyapabbata (Batu Cadas Caliya).
Tempat kediaman musim hujan:
Caliyapabbata (Batu Cadas Caliya).
Peristiwa utama:
Sang Bhagava memberikan khotbah kepada seorang gadis penenun beserta ayahnya; Sang Bhagava mengalihyakinkan Kukkutamitta, sang pemburu dan keluarganya.
Sang Bhagava memberikan khotbah kepada seorang gadis penenun beserta ayahnya; Sang Bhagava mengalihyakinkan Kukkutamitta, sang pemburu dan keluarganya.
Tahun Kedua Puluh (569 S.M)
Tempat kediaman musint hujan:
Veluvanarama, di dekat Rajagaha.
Tempat kediaman musint hujan:
Veluvanarama, di dekat Rajagaha.
Peristiwa utama:
Buddha menetapkan aturan-aturan Parajika; menunjuk Ananda sebagai pengiring tetap; pertemuan pertama dengan Jivaka; mengalihyakinkan Angulimala; Sang Bhagava dituduh atas pembunuhan Sundari; meluruskan pandangan salah Brahma Baka; menundukkan Nandopananda.
Buddha menetapkan aturan-aturan Parajika; menunjuk Ananda sebagai pengiring tetap; pertemuan pertama dengan Jivaka; mengalihyakinkan Angulimala; Sang Bhagava dituduh atas pembunuhan Sundari; meluruskan pandangan salah Brahma Baka; menundukkan Nandopananda.
Tahun Kedua Puluh Satu Sampai Keempat Puluh Empat (568-545 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Vihara Jetavana dan Vihan Pubbarama, Savatthi.
Tempat kediaman musim hujan:
Vihara Jetavana dan Vihan Pubbarama, Savatthi.
Peristiwa utama:
Kisah mengenai Raja Pukkusati; Sang Bhagava membabarkan Ambattha Sutta; penyerahan Vihara Pubbarama sebagai dana; wafatnya Raja Bimbisara; Bhikkhu Devadatta berusaha membunuh Sang Bhagava; menjinakkan Gajah Nalagiri; Bhikkhu Devadatta menciptakan perpecahan di dalam Sangha; meninggalnya Bhikkhu Devadatta; mengalihyakinkan Raja Ajatasattu; wafatnya Raja Pasenadi dari Kosala; membabarkan Sakka Pañha Sutta.
Kisah mengenai Raja Pukkusati; Sang Bhagava membabarkan Ambattha Sutta; penyerahan Vihara Pubbarama sebagai dana; wafatnya Raja Bimbisara; Bhikkhu Devadatta berusaha membunuh Sang Bhagava; menjinakkan Gajah Nalagiri; Bhikkhu Devadatta menciptakan perpecahan di dalam Sangha; meninggalnya Bhikkhu Devadatta; mengalihyakinkan Raja Ajatasattu; wafatnya Raja Pasenadi dari Kosala; membabarkan Sakka Pañha Sutta.
Tahun Keempat Puluh Lima (544 S.M)
Tempat kediaman musim hujan:
Beluvagamaka, di dekat Vesa1i.
Tempat kediaman musim hujan:
Beluvagamaka, di dekat Vesa1i.
Peristiwa utama:
Buddha mengalihyakinkan Upali, siswa utama Nigantha Nataputta; membabarkan ketujuh kondisi kesejahteraan bagi para penguasa dunia dan para bhikkhu; menyampaikan ceramah Cermin Dhamma; menerima hutan mangga dan Ambapali sebagai persembahan dana; wafatnya Sariputta dan Moggallana; membabarkan Empat Narasumber Utama (Mahapadesa); menyantap sukaramaddava; menerima petapa kelana Subhadda sebagai siswa terakhir; Sang Bhagava mencapai Mahaparinibbana.
Buddha mengalihyakinkan Upali, siswa utama Nigantha Nataputta; membabarkan ketujuh kondisi kesejahteraan bagi para penguasa dunia dan para bhikkhu; menyampaikan ceramah Cermin Dhamma; menerima hutan mangga dan Ambapali sebagai persembahan dana; wafatnya Sariputta dan Moggallana; membabarkan Empat Narasumber Utama (Mahapadesa); menyantap sukaramaddava; menerima petapa kelana Subhadda sebagai siswa terakhir; Sang Bhagava mencapai Mahaparinibbana.
KEGIATAN SEHARI-HARI SANG BHAGAVA
Selama empat puluh lima tahun Sang Bhagava membabarkan Dhamma dengan
semangat. Dan setiap hari Ia melakukan kegiatan rutin-Nya tanpa mengenal
jenuh.
Kegiatan harian yang dilakukan Sang Bhagava bisa dibagi ke dalam lima
sesi, yaitu: (1) kegiatan pagi (purebhatta kicca), (2) kegiatan siang
(pacchabhatta kicca), (3) kegiatan waktu jaga pertama malam (purimayama
kicca), (4) kegiatan waktu jaga pertengahan malam (majjhimayama kicca),
dan (5) kegiatan waktu jaga terakhir malam (pacchimayama kicca).
Kegiatan Pagi (sekitar pukul 06.00 – 12.00)
Sang Bhagava bangun pukul 04.00, kemudian setelah mandi Ia bermeditasi selama satu jam. Setelah itu pada pukul 05.00, Beliau memindai dunia dengan Mata Buddha-Nya untuk melihat siapa yang bisa Ia bantu. Pukul 06.00, Sang Bhagava menata jubah bawah, mengencangkan ikat pinggang, mengenakan jubah atas, membawa mangkuk dana-Nya, lalu pergi menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Terkadang Sang Bhagava melakukan perjalanan untuk menuntun beberapa orang ke jalan yang benar dengan kebijaksanaan-Nya. Setelah menyelesaikan makan sebelum tengah hari, Sang Bhagava akan membabarkan khotbah singkat; Ia akan mengukuhkan sebagian pendengar dalam Tiga Pernaungan. Kadang Ia memberikan penahbisan bagi mereka yang ingin memasuki Persamuhan.
Sang Bhagava bangun pukul 04.00, kemudian setelah mandi Ia bermeditasi selama satu jam. Setelah itu pada pukul 05.00, Beliau memindai dunia dengan Mata Buddha-Nya untuk melihat siapa yang bisa Ia bantu. Pukul 06.00, Sang Bhagava menata jubah bawah, mengencangkan ikat pinggang, mengenakan jubah atas, membawa mangkuk dana-Nya, lalu pergi menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Terkadang Sang Bhagava melakukan perjalanan untuk menuntun beberapa orang ke jalan yang benar dengan kebijaksanaan-Nya. Setelah menyelesaikan makan sebelum tengah hari, Sang Bhagava akan membabarkan khotbah singkat; Ia akan mengukuhkan sebagian pendengar dalam Tiga Pernaungan. Kadang Ia memberikan penahbisan bagi mereka yang ingin memasuki Persamuhan.
Kegiatan Siang (sekitar pukul 12.00 – 18.00)
Pada waktu ini, biasanya digunakan oleh Sang Bhagava untuk memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Setelah itu Sang Bhagava akan kembali ke bilik-Nya untuk beristirahat dan memindai seisi dunia untuk melihat siapa yang memerlukan pertolongan-Nya. Lalu, menjelang senja, Sang Bhagava menerima para penduduk kota dan desa setempat di aula pembabaran serta membabarkan khotbah kepada mereka. Saat Sang Bhagava membabarkan Dhamma, masing-masing pendengar, walaupun memiliki perangai yang berlainan, berpikir bahwa khotbah Sang Bhagava ditujukan secara khusus kepada dirinya. Demikianlah cara Sang Bhagava membabarkan Dhamma, yang sesuai dengan waktu dan keadaannya. Ajaran luhur dari Sang Bhagava terasa menarik, baik bagi khalayak ramai maupun kaum cendekia.
Pada waktu ini, biasanya digunakan oleh Sang Bhagava untuk memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Setelah itu Sang Bhagava akan kembali ke bilik-Nya untuk beristirahat dan memindai seisi dunia untuk melihat siapa yang memerlukan pertolongan-Nya. Lalu, menjelang senja, Sang Bhagava menerima para penduduk kota dan desa setempat di aula pembabaran serta membabarkan khotbah kepada mereka. Saat Sang Bhagava membabarkan Dhamma, masing-masing pendengar, walaupun memiliki perangai yang berlainan, berpikir bahwa khotbah Sang Bhagava ditujukan secara khusus kepada dirinya. Demikianlah cara Sang Bhagava membabarkan Dhamma, yang sesuai dengan waktu dan keadaannya. Ajaran luhur dari Sang Bhagava terasa menarik, baik bagi khalayak ramai maupun kaum cendekia.
Kegiatan Waktu Jaga Pertama Malam (sekitar pukul 18.00 – 22.00)
Setelah para umat awam pulang, Sang Bhagava bangkit dari duduk-Nya pergi mandi. Setelah mandi, Sang Bhagava mengenakan jubah-Nya dengan baik dan berdiam sejenak seorang diri di bilik-Nya. Sementara itu, para bhikkhu akan datang dari tempat berdiamnya masing-masing dan berkmpul untuk memberikan penghormatan kepada Sang Bhagava. Kali ini, para bhikkhu bebas mendekati Sang Bhagava untuk menghilangkan keraguan mereka, ntuk meminta nasihat-Nya mengenai kepelikan Dhamma, untuk mendapatkan objek meditasi yang sesuai, dan untuk mendengarkan ajaran-Nya.
Setelah para umat awam pulang, Sang Bhagava bangkit dari duduk-Nya pergi mandi. Setelah mandi, Sang Bhagava mengenakan jubah-Nya dengan baik dan berdiam sejenak seorang diri di bilik-Nya. Sementara itu, para bhikkhu akan datang dari tempat berdiamnya masing-masing dan berkmpul untuk memberikan penghormatan kepada Sang Bhagava. Kali ini, para bhikkhu bebas mendekati Sang Bhagava untuk menghilangkan keraguan mereka, ntuk meminta nasihat-Nya mengenai kepelikan Dhamma, untuk mendapatkan objek meditasi yang sesuai, dan untuk mendengarkan ajaran-Nya.
Kegiatan Waktu Jaga Pertengahan Malam (sekitar pukul 22.00 – 02.00)
Rentang waktu ini disediakan khusus bagi para makhluk surgawi seperti para dewa dan brahma dari sepuluh ribu tata dunia. Mereka mendekati Sang Bhagava untuk bertanya mengenai Dhamma yang selama ini tengah mereka pikirkan. Sang Bhagava melewatkan tengah malam itu sepenuhnya untuk menyelesaikan semua masalah dan kebingungan mereka.
Rentang waktu ini disediakan khusus bagi para makhluk surgawi seperti para dewa dan brahma dari sepuluh ribu tata dunia. Mereka mendekati Sang Bhagava untuk bertanya mengenai Dhamma yang selama ini tengah mereka pikirkan. Sang Bhagava melewatkan tengah malam itu sepenuhnya untuk menyelesaikan semua masalah dan kebingungan mereka.
Kegiatan Waktu Jaga Terakhir Malam (sekitar pukul 02.00 – 06.00)
Rentang waktu ini dipergunakan sepenuhnya untuk Sang Bhagava sendiri. Pukul 02.00 sampai 03.00, Sang Bhagava berjalan-jalan untk mengurangi penat tubuh-Nya yang menjadi kaku karena duduk sejak fajar. Pukul 03.00 sampai 04.00, dengan perhatian murni, Ia tidur di sisi kanan-Nya di dalam Bilik Harum-Nya. Pada pukul 04.00 sampai 05.00, Sang Bhagava bangkit dari tidur, duduk bersilang kaki dan bermeditasi menikmati Nibbana.
Rentang waktu ini dipergunakan sepenuhnya untuk Sang Bhagava sendiri. Pukul 02.00 sampai 03.00, Sang Bhagava berjalan-jalan untk mengurangi penat tubuh-Nya yang menjadi kaku karena duduk sejak fajar. Pukul 03.00 sampai 04.00, dengan perhatian murni, Ia tidur di sisi kanan-Nya di dalam Bilik Harum-Nya. Pada pukul 04.00 sampai 05.00, Sang Bhagava bangkit dari tidur, duduk bersilang kaki dan bermeditasi menikmati Nibbana.
Demikianlah kegiatan harian yang dilakukan oleh Sang Bhagava, yang Ia lakukan sepanjang hidup-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar