YM. Bhikkhu Jinadhammo Mahathera
Y.M Bhikkhu Jinadhammo
yang biasanya dipanggil Bhante Jin atau
Eyang ini
merupakan anggota Sangha Theravada dari Sangha Agung
Indonesia yang oleh Bhante Ashin
Jinarakkhita ditugaskan di Sumatera untuk melakukan pembinaan umat yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Riau dan padang.
Beliau merupakan salah satu tokoh Buddhis yang sangat disegani di
bumi Andalas ini karena pengabdiannya yang tidak kenal lelah. Beliau juga
dikenal sebagai Bhikkhu yang mudah dilayani, fleksible, simple dan humoris.
Berkat jasa dan pengabdian beliau,
semakin hari semakin banyak berdiri vihara-vihara maupun cetiya di
pelosok-pelosok daerah, dan yang baru-baru ini terbentuk adalah Indonesia Tipitaka Centre, Vihara Sujata dan Perpustakaan
Buddhis Umum Nyana Samwara.
Kelahiran dan Masa
Remaja
Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal menjadi seorang anggota Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.
Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal menjadi seorang anggota Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.
Bayi laki-laki yang kemudian diberi
nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang
bocah. Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum
selain keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan,
situasi pada saat itu juga tidak memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka
tapi sekutu masih menguasai negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil
dan keluarganya harus selalu berpindah-pindah.
Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang penting menghindar ke
arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan yang dirasakan tapi
kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung.
Pada waktu itu, makan nasi dengan
lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut disyukuri dan terasa sangat
nikmat. Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil
menyelesaikan pendidikannnya di Sekolah Rakyat
(Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu
dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjadi topi dll, setidaknya
dapat menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan
di kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga
yang dipilih yakni atletik, lompat jauh dan
lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang
menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia
menerima upahan dari para tetangga untuk mengembalakan ternak kerbau dan
kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya merumput, lagi-lagi Sunardi
meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau sesuatu yang bisa digunakan
untuk diukir.
Waktu terus berlalu, setelah
menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Sunardi melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau terlahir dari
keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan
belajar yang keras. Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan
menjadi tenaga cukur bayaran. Sunardi
paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu harus
dekat dengan warung makanan. “Upahnya tak beliin kue, habis..” kenang
Beliau sambil tertawa.
Tak heran kalau sampai sekarang
keahlian mencukur Bhante masih digunakan. Bhante itu kalau mencukur cepat
sekali, aku salah seorang anggota pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi paling
senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu pertanda
bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit,
mengidolakan tokoh Arjuna, tapi tak
pernah melewatkan tokoh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada acara Wayang
dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam melarut dan
walaupun menjelang subuh.
Pada masa remaja Sunardi bersama
teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi
tersebut banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang
dinding candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut,
sejumlah pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya? Untuk
apa bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan
senantiasa menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah berbuah, melalui seorang
rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya
memuat 4 agama besar di Indonesia yakni Islam,
Kristen, Hindu dan Buddha.
Setelah membaca majalah tersebut barulah Sunardi mengenal apa yang disebut
agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang timbul tentang
relief-relief dan patung-patung tersebut menggambarkan kebesaran agama Buddha
di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni zaman Sriwijaya dan Majapahit.
Ternyata Sunardi tidak puas dengan
jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari agama Buddha melalui majalah LMM
yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak yang dibaca dan dihayati maka
akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya.
Sunardi merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu
menentramkan, membahagiakan.
Satu kesempatan yang membawa
langkahnya ke kota Kembang (Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera.
Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak
saat itulah Sunardi lebih aktif mempelajari Buddha
Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap agama
Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta suci
dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian mahasiswa-mahasiswi
serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma
Bandung.
Pada tahun
1962, Sunardi mulai memasuki organisasi
agama Buddha di Bandung.
Oleh Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan
agama Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.
Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi
ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk
mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun, Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian
dilantik menjadi upasaka di Pekan Baru.
Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah
bimbingan langsung Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta
lainnya mengikuti suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan
berlangsung dengan disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah
berlatih lebih kurang 2 minggu mengalami kejadian
lucu dan unik. Ketika
mendengar ada suara penjual ice cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia
berlari ke depan vihara. Ia membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi
dan menari, ia mengajak peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu
saja ia dianggap gagal dalam pelatihan.
Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan
tersebut. Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang
kotor dan tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan
sarang laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak
untuk membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin telah menggeledek: “Pergunakan
waktumu sebaik-baiknya, goblok…” Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat
bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4
orang lainnya yang dinyatakan lulus di
antara sekian puluh orang peserta.
"Hendaknya orang
terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut dan
selanjutnya melatih orang lain.
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela."
(Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela."
(Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)
Ketika masih menjadi seorang
Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upasaka dan orang yang bisa
menjadi Upasaka Bhante Ashin pada
waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia.
Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa
dihitung dengan jari tangan. Tidak heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
sebagai putra Indonesia pertama yang
menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit sering
memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota Sangha.
Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan
kembali agama Buddha yang tertidur selama 5 abad.
Sunardi pada waktu menjadi pengikut
Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk segera menjadi samanera.
Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang sampai kurun 6 tahun lamanya.
Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi samanera. Suatu ketika, mungkin
karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin
berkata pada pemuda Sunardi: “Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa
Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi
Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu?
Itu karena saya membayar hutang.” Demikian pertanyaan yang dilontarkan
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh
beliau sendiri.
Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin
tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti Jendral Gatot Subroto,
Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah
batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan
tekadnya mendapat restu dari orang tua dan saudaranya.
Upasampada Sunardi kemudian
ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang
Samanera, Bhante Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, “Kamu sebenarnya
sudah terpilih menjadi seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan
Buddha Dhamma.” Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk
menjadi seorang Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera
Dhammasushiyo di Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:
1. S. Jinasuryabhumi (U.P. Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu : Aggajinamitto).
2. S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari 1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.
3. S.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20 Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.
4. S.Dhammasushiyo (Sunardi), lahir Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo.
5. S.Djumadi, lahir Jumat 19 Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.
Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang mana pentabhishan tersebut
dilakukan oleh :
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja.
2. Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \ Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta).
3. Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana)
4. Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5. Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia)
6. Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja.
2. Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \ Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta).
3. Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana)
4. Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5. Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia)
6. Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)
Pada saat Sirivijayo dan
Jinadhammo meminta
upasampada, sesaat langit seakan
berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya
upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore.
Belajar ke Wat
Bovoranives Vihara
Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo) kemudian berangkat ke Negara Gajah Putih, Muangthai. Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru beliau.
Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo) kemudian berangkat ke Negara Gajah Putih, Muangthai. Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru beliau.
Bhante Jin mengkhususkan pada
pelajaran Vinaya. Selain itu juga
berlatih meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar di Bangkok,
baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang terkenal
keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udon thani,
sebelah Timur Laut dari kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat
praktek meditasi) yang dipimpin oleh Ajahn Boowa,
seorang Master Meditasi yang terkenal.Wat Ban Tad (Dibaca menurut lidah orang
Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini merupakan salah satu pusat
meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat
Ba Phong tempat Ajahn Chah.
Bhante Jin pernah 2 kali retreat di
Wat Ban Tad.
Ajahn Boowa adalah seorang master
meditasi yang terkenal memiliki kemampuan abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn
Boowa melakukan gerakan Rakyat Menyelamatkan
Negara. Beliau berkampanye mengumpulkan sumbangan dari rakyat untuk
disumbangkan kepada negara yang sedang mengalami krisis
ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai
berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Boowa. Sudah milyaran dolar Amerika (dalam bentuk uang dan
emas batangan) yang diserahkan Ajahn Boowa kepada pemerintah. Sewaktu belajar
di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air
hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada
saat itu, Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan
Air Minum)
Ketika tinggal di vihara hutan, juga
mengalami bagaimana sederhananya kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi
sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari
setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan
menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah daging kodok rebus atau ulat kelapa
(orang Jawa bilang : Gendon)
Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan
umat termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang
Bhikkhu hanya menerima makanan dari daging apabila :
1. Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2. Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3. Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.
1. Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2. Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3. Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.
Kembali ke Indonesia Setelah
3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin dipanggil pulang ke Indonesia
oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
(Sukong). Bhante Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di
Indonesia.
Sewaktu baru pulang ke Indonesia,
Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha
dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis.
Orang tersebut dipanggil Om Yan oleh
Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan
di lereng Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan
tersebut. Tinggal di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita.
Suara satwa malam pun mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke
dalam gubuk Bhante Jin. Bhante Jin belum tidur waktu itu.
“Ada apa Om Yan? Tengah malam kok
ngintip-ngintip?” tegur Bhante Jin tiba-tiba.
Om Yan ketawa terbahak-bahak. “Saya
cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di gubuk.”
Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di sebuah vihara yang
dikelolanya di daerah Tulung Agung.
Bhante Jin diberi sebuah kamar aneh
untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak batu-batu persegi dan bulat
yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin menginap di kamar tersebut
beberapa malam dengan tenang. Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya.
“Apakah Bhante merasa tenang tinggal
di vihara ini ?” tanya Om Yan.
“Tenang. Tenang sekali.” Jawab Bhante Jin.
“Bhante bisa tidur nyenyak ?” tanya Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil.
“Oh … bisa… bisa.” Jawab Bhante Jin.”Kenapa rupanya?” tanya Bhante Jin
kembali.
“Ah, tidak ada apa-apa koq. Cuma
nanya saja.” Jawab Om Yan senyum-senyum
mencurigakan.
Di vihara tersebut memang suasananya
sangat sepi dan sunyi di hari biasa. Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika
malam hari, suasananya benar-benar senyap.
Bhante Jin tinggal di vihara
tersebut dengan seorang penjaga vihara yang rada-rada aneh. Tetap penjaga
vihara tersebut tidak pernah mau jika diajak tidur di kamar berlantai aneh
tempat Bhante Jin.
“Saya tak berani tidur di situ.” Katanya polos.
“Kenapa rupanya?Kamarnya kan luas.” Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja.
Tidak berani berbicara. Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk
menjemput Bhante Jin. Om Yan bertanya tentang kesehatan
Bhante.
“Apa Bhante sehat-sehat saja?” tanya Om Yan sambil tersenyum.
“Sehat” jawab Bhante Jin singkat.
“Selama tidur di kamar tersebut apa
ada kejadian aneh?” tanya Om Yan dengan nada menyelidiki.
“Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa
saja koq.”
“Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya
enggak ada yang berani tidur di kamar itu.”
“Lho, ada apa dengan kamar itu ? Apa
Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai. Bhante tahu
batu apa itu?” tanya Om Yan serius.
“Wah, mana saya tahu. Saya hanya
heran untuk apa batu-batu itu dibuat?”
“Begini Bhante, tapi ini sebenarnya
rahasia. Kamar itu sebenarnya lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya.” Jawab Om Yan.
“Oh ! Begitu rupanya. Kok saya tidak
diberitahu dulu?”
“Ha… ha … ha… Itu kan untuk menguji
Bhante. Jadi, ya, tidak diberitahu.”
Jawab Om Yan gembira.
Sumber : Indonesian Buddhist Society
Tidak ada komentar:
Posting Komentar