Hidup harmonis dalam Berumah Tangg a
by;YM.Bhikkhu khemanando.
Ajaran Sang Buddha bertujuan tunggal, yakni melepaskan diri kita
dari penderitaan. Sang Buddha dengan jelas mengatakan bahwa segala
penderitaan hanya bersumber dari tiga hal, yang lebih dikenal dengan
tiga akar kejahatan, yakni lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan
moha (kegelapan batin). Atau kalau tiga terlalu banyak, maka kita boleh
mengatakan hanya bersumber dari satu hal, yakni kegelapan batin. Karena
kegelapan batin inilah, maka keserakahan dan kebencian muncul di diri
kita ini. Maka adalah tak salah bila dikatakan sumbernya tiga, juga tak
salah dikatakan sumbernya satu. Terserah mana yang lebih disukai karena
maknanya adalah tetap sama.
Dengan mengerti paragraf yang dijelaskan di atas, maka tentu jugalah
cara untuk meraih kebahagiaan harus diiringi dengan berkurangnya atau
lenyapnya kegelapan batin. Yah, tentunya kalau kita membicarakan
keharmonisan hidup berumah tangga, kita tak mengharapkan kedua insan
untuk melenyapkan segala noda kegelapan batin. Dengan demikian, seorang
Buddhis mengerti dengan jelas batas kebahagian yang dijanjikan oleh
sebuah pernikahan. Pernikahan tentunya bukan kebahagiaan tertinggi dalam
ajaran Sang Buddha.
Marilah kita menganalisa dulu beberapa hal dasar yang sering
didiskusikan antar sesama Buddhis. Kemudian setelah itu, kita akan
menjelaskan hal-hal yang mendukung keharmonisan hidup berkeluarga.
Apakah Sang Buddha menganjurkan pernikahan?
Sang Buddha tak menganjurkan pernikahan. Sang Buddha juga tak
melarang umat Buddhis untuk menikah. Dalam hal ini, Sang Buddha mengerti
tak semua orang dapat mengikuti ajaran yang lebih tinggi tingkatnya
(kebhikkhuan) sehingga untuk mereka ini, menikah atau tidak adalah
pilihan masing-masing. Tentunya umat Buddhis juga tak dipaksa untuk
harus menikah.
Apakah boleh beristeri lebih dari satu?
Kesetiaan adalah hal yang patut dipuji. Pada zaman sekarang ini,
beristeri (atau bersuami) lebih dari satu adalah melanggar norma sosial
(ataupun norma hukum). Seorang yang bijaksana mengikuti norma-norma
lingkungannya agar ia tak mengalami permasalahan dengan pihak yang
berwenang (hukum) atau masyarakat disekitarnya (sosial/budaya). Sifat
yang mudah dipuaskan adalah sifat yang dipuji dalam ajaran Sang Buddha.
Dengan demikian, seseorang seharusnyalah memiliki hanya satu isteri atau
suami.
Apakah boleh menikah tapi tak mau mempunyai anak?
Seandainya suami dan isteri sama-sama menyutujui untuk tak mau
memiliki anak, maka hal ini tentunya boleh. Nah, seandainya satu dari
mereka ada yang tak setuju, maka mereka harus merundingkannya dengan
penuh pengertian. Dalam ajaran Sang Buddha dikenal adanya kebahagiaan
mempunyai anak dan juga dikenal kebahagiaan tidak mempunyai anak. Apakah
kebahagiaan mempunyai anak? Kalau anak tersebut sukses, maka orang
tuanya bahagia, dst. Apakah kebahagiaan tidak mempunyai anak? Kalau anak
tersebut mati, maka orang tuanya akan bersedih. Dengan tak memiliki
anak, mereka akan terbebas dari penderitaan ini, dst. Jadi mana yang
dipilih: mempunyai anak atau tidak? Ini adalah pilihan masing-masing
pasangan.
Apakah boleh menikah tapi tak melakukan hubungan seks?
Jawaban yang sama seperti yang tertera di atas. Tetapi dalam kasus
ini, bedanya adalah keinginan untuk berhubungan seks (nafsu birahi) itu
sangat kuat. Seandainya kedua pasangan memang benar-benar bertujuan
untuk mengurangi nafsu seks, maka mereka harus sebanding dalam tingkat
pelaksanaannya. Sedikit saja berbeda dalam tingkat pelaksanaannya, maka
akan timbul penderitaan. Untuk mencegah hal ini, pasangan dapat berjanji
untuk melaksanakan Atthasila (Delapan Sila) pada hari-hari tertentu
secara rutin. Mereka juga harus saling jujur dan mengerti. Kalau
pasangan tersebut tak tertarik untuk mengurangi nafsu seks, maka mereka
seharusnya tak menggunakan hubungan seks sebagai hukuman, dalam arti
bila si isteri tak senang dengan suami, ia seharusnya tak menolak
suaminya, dan sebaliknya. Ini tak berarti diperbolehkan adanya
pemaksaan.
Apakah boleh berteman baik dengan lawan jenis setelah menikah?
Hubungan persahabatan yang terlalu erat dengan lawan jenis setelah
menikah adalah hal yang tak dianjurkan. Hal ini disebabkan oleh karena
banyaknya permasalahan yang akan muncul dari hubungan yang terlalu dekat
ini. Ia yang bijaksana mengerti hal ini dengan benar sehingga ia pandai
menjaga jarak dengan lawan jenis di dalam kehidupan sehari-harinya.
Sedangkan hubungan yang tak terlalu dekat dengan lawan jenis tetapi
disadari bahwa terdapat nafsu seks (ataupun rasa suka) di dirinya
terhadap lawan jenis tersebut, juga harus diatasi dengan usaha yang
lebih kuat untuk menghindari kontak (pertemuan) dengan lawan jenis
tersebut. Ajaran Sang Buddha mengajarkan jalan tengah. Dalam arti,
pasangan masih boleh berteman dengan lawan jenis. Tetapi dalam hal-hal
tertentu, seperti hal yang dijelaskan di atas, usaha harus dikembangkan
untuk mengurangi kontak dengan lawan jenis tersebut.
Apakah boleh bercerai?
Perceraian seharusnya dianggap sebagai jalan akhir dan bukan solusi
yang handy (mudah). Tetapi seandainya jalan telah tertutup, maka
perceraian adalah jalan terbaik untuk kedua insan. Adalah tidak
bijaksana bagi kedua insan untuk bertengkar terus dan menderita siang
dan malam (tetangga-tetangga yang tak mau menderita juga ikut menderita
mendengar pertengkaran ini). Maka bila tak diketemukan lagi solusi,
perceraian adalah jalan yang tak dapat dikatakan salah. Tetapi perlu
diingat bahwa perceraian bukanlah izin untuk membenci mantan pasangan.
Pasangan yang telah berpisah seharusnya masih tetap akur dan memiliki
rasa kasih sayang, tentunya bukan kasih sayang antar suami-isteri lagi
tetapi kasih sayang antar teman. Kalau mereka telah mempunyai anak, maka
perundingan tentang perawatan anak seharusnya disepakati. Bila anak
tersebut telah dewasa, maka orang tua juga mempunyai kewajiban
menjelaskan permasalahan ini dengan tak menimpa semua kesalahan kepada
mantan pasangannya. Dengan demikian, anak tersebut akan mengerti dan
tetap memiliki rasa hormat dan kasih sayang terhadap kedua orang tuanya.
Apakah suami isteri harus menetap dengan orang tua (mertua)?
Dalam ajaran Sang Buddha, anak berkewajiban merawat orang tua mereka.
Bila saja orang tua lebih menyukai untuk menetap dengan anaknya, maka
anak harus menerima orang tua. Seandainya pasangan si anak tak setuju,
maka ajaran Sang Buddha mengenai hal ini seharusnya dijelaskan
kepadanya. Adalah perbuatan yang tercela menelantarkan orang tua demi
pasangan. Seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha, seorang isteri harus
pandai membawa diri di keluarga suaminya, dan sebaliknya. Ia harus
menghormati mertuanya, merawatnya dengan penuh kasih, dan tak menganggap
mertuanya sebagai beban dan rintangan.
Apakah isteri harus mengikuti semua perkataan suami?
Seorang isteri yang baik akan mengikuti perkataan suaminya sejauh
perkataan suaminya tak menimbulkan kerugian (salah). Seorang suami juga
seharusnya mengikuti perkataan isterinya sejauh perkataanya juga tak
membawa kerugian (salah). Bila terdapat perbedaan pendapat, maka
perundingan seharusnya dilakukan dengan penuh pengertian dan rasa kasih
sayang. Penentuan benar dan salah, tepat atau kurang tepat adalah
seharusnya disesuaikan dengan ajaran Sang Buddha. Keharmonisan dalam
pendapat sangat tergantung pada kesetaraan dalam kebijaksanaan yang akan
dijelaskan di bawah.
Apakah isteri harus mencari nafkah (bekerja) juga?
Tidaklah terdapat keharusan bagi isteri untuk bekerja. Tetapi
seandainya penghasilan suami sangat minimal, isteri juga seharusnya
membantu suaminya dengan jalan mencari pekerjaan. Pasangan yang memiliki
materi yang cukup mendapat kemewahan untuk memilih. Yang terpenting
dalam pemilihan ini adalah suami isteri tak berlomba untuk mendapat gaji
yang lebih tinggi dari pasangannya. Adalah tradisi di jaman Sang Buddha
bagi suami untuk mencari nafkah dan isteri untuk mangatur apa yang
telah diperoleh suaminya. Tetapi di jaman ini, juga tak dapat dikatakan
salah bila isteri sendiri juga mempunyai pekerjaan asalkan tak
mengakibatkan anak terlantar kebutuhannya. Dan juga tak dapat dikatakan
salah bila pasangan mengikuti tradisi di jaman Sang Buddha ini.
Faktor-faktor pendukung keharmonisan
Semua nasehat yang dijelaskan oleh para pakar sosiologis atau
psikologis dapat dipergunakan sejauh mereka tak bertentangan dengan
Dhamma. Ajaran Sang Buddha tak pernah menolak nasehat dan bimbingan
ajaran lain yang bersifat baik dan membawa kebahagiaan. Akan tetapi
seorang Buddhis seharusnya pandai dalam menyaring informasi yang ada di
masyarakatnya. Ia tak menelan bulat-bulat semua informasi dari para
pakar, tetapi ia juga tak langsung menolaknya. Bila terdapat konflik,
maka ia akan selalu mengikuti Dhamma yang telah dijelaskan oleh Sang
Buddha.
Hal-hal pendukung keharmonisan tersebut antara lain:
1) Dukungan mental
Isteri seharusnya dianggap sebagai teman baik suami, dan sebaliknya.
Sehingga bila ada permasalahan, mereka dapat saling mendukung. Apa yang
harus didukung? Pengurangan terhadap keserakahan, kebencian, dan
kegelapan batin.
2) Komunikasi
Komunikasi seharusnya didasari oleh rasa kasih sayang dan belas kasihan. Ucapan yang ramah adalah kunci keharmonisan.
3) Saling mengerti
Mereka harus saling mengerti hal-hal yang disukai dan tak disukai
oleh pasangan mereka. Dengan pengertian ini, mereka kemudian akan
melakukan hal yang disukai pasangan mereka dan menjauhi hal-hal yang tak
disukai pasangan mereka. Mereka harus mampu hidup bertoleransi bila
terdapat konflik dengan keinginan diri mereka. Mampu melepaskan
keinginan hati sendiri demi keinginan orang lain adalah hal yang dipuji
oleh Sang Buddha.
4) Mengikis sifat keakuan
Tak egois dan tak sombong tetapi mementingkan kebahagiaan bersama.
Ajaran Sang Buddha berakar pada dukkha (segala sesuatu adalah tak
memberikan kepuasan abadi), anicca (segala sesuatu adalah tak kekal
keberadaannya), dan anatta (tanpa roh/jiwa/pemilik/aku). Dengan
demikian, sifat keakuan (egois, sombong, dll) juga harus dikurangi
dengan merenungi ajaran Sang Buddha ini.
5) Kesabaran
Kata Sang Buddha, “Kesabaran adalah latihan tertinggi.” Dengan
demikian, pasangan yang melatih latihan tertinggi ini akan dapat
menangani banyak permasalahan yang tak dapat ditangani pasangan lain.
PENDUKUNG UTAMA KEHARMONISAN
Pepatah tua mengatakan bahwa mereka yang sejenis akan bersatu, mereka
yang tak sejenis akan berpisah. Dari segala khotbah yang menyangkut
keharmonisan hidup berkeluarga, keempat hal ini adalah merupakan salah
satu penjelasan yang paling sering diberikan oleh Sang Buddha. Keempat
hal tersebut adalah:
I. Keyakinan yang sebanding
Suami isteri harus memiliki keyakinan yang sebanding terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Apakah keyakinan ini?
a) Keyakinan terhadap Buddha: Guru Gotama adalah seorang Buddha,
patut dihormati, sungguh sempurna, pemilik kebijaksanaan termulia dan
pemilik moral terluhur, yang telah tercerahkan, pengenal alam semesta,
pelatih makhluk, guru para dewa dan manusia, sempurna peneranganNya, dan
termulia.
b) Keyakinan terhadap Dhamma: Dhamma yang sempurna yang diajarkan
Guru Gotama dapat dilihat langsung, kekal keberadaanNya, mengajak diri
kita untuk melihat dan mengujiNya, sifatnya menunjuk ke diri kita
sendiri, dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang bijaksana.
c) Keyakinan terhadap Sangha: Murid-murid Guru Gotama melatih diri
mereka secara baik, berkelakuan baik, menelusuri jalan yang benar,
mengikuti ajaranNya dengan benar. Tercakup didalam Sangha ini adalah
empat kelompok orang-orang suci dan delapan kelompok jenis individual.
Merekalah murid Beliau yang patut diasuh dan dirawat kebutuhannya, patut
dihormati dan diberikan dana, lahan termakmur dari segala lahan jasa.
Di sini keyakinan bukan hanya merujuk kepada sama agama. Kalaupun
keduanya beragama Buddha, tetapi kalau keyakinan mereka tak sebanding,
maka keharmonisan juga tak akan teraih. Juga perlu disadari keyakinan
yang tak diiringi oleh kebijaksanaan akan membuat orang tersebut menjadi
fanatik. Sedangkan kebijaksanaan yang tak diiringi keyakinan akan
menghasilkan scepticism yang akan membawa keresahan batin. Dengan
demikian, keyakinan dan kebijaksanaan harus saling mendukung satu sama
lainnya. Kebijaksanaan akan dijelaskan di point keempat di bawah.
II. Sifat murah hati yang sebanding
Terdapat lumayan banyak pasangan yang tak serasi dalam hal kemurahan
hati. Bila isteri berdana, suami merasa isteri hanya
menghambur-hamburkan materi, dan sebaliknya. Pasangan seharusnya
mengerti bahwa berdana adalah bertujuan untuk meningkatkan kwalitas
pikiran ini (mengikis kekikiran, keserakahan, dan keegoisan). Dengan
memiliki pengertian yang seiring ini, maka suami isteri akan saling
mendukung dan berbahagia olehnya.
III. Kwalitas moral yang sebanding
Seperti halnya kemurahan hati, kwalitas moral juga seharusnya
sebanding diantara mereka. Seharusnya jugalah mereka mengerti makna dari
pelaksanaan sila yang bertujuan untuk meningkatkan kwalitas pikiran
mereka. Dengan demikian, mereka juga akan saling mendukung dan
berbahagia olehnya. Pelaksanaan sila yang lebih tinggi tingkatnya
(Atthasila) seharusnya dilaksankan dengan persetujuan pasangannya
terdahulu. Pelaksanaan yang seiring akan mencegah keresahan batin,
terutama yang akan timbul dari pelaksanaan sila ketiga dari Atthasila
(menghindari hubungan seks) yang telah dijelaskan di atas.
IV. Kebijaksanaan yang sebanding
Kebijaksanaan disini ditujukan pada pengertian yang benar tentang
makna utama ajaran Sang Buddha. Pasangan yang serasi seharusnya memiliki
pengertian yang setara tentang “dukkha” “anicca” dan “anatta.” Mereka
juga seharusnya mengerti dengan jelas Empat Kesunyataan Mulia yang telah
dijelaskan oleh Sang Buddha. Disamping pengertian ini, mereka
seharusnya juga setara dalam hal perenungannya dalam kehidupan
sehari-hari dan pemakaian (application)nya dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha, semua khotbah yang telah
Beliau berikan memiliki satu kesamaan—yakni bersifat melenyapkan
penderitaan melalui pengertian benar tentang ketidakpuasan, asal mula
ketidakpuasan, berakhirnya ketidakpuasan, dan jalan menuju berakhirnya
ketidakpuasan (Empat Kesunyataan Mulia).
Kesimpulan
Inilah keempat hal utama yang bila saja sebanding akan sulit
mengakibatkan perselisihan antar suami isteri. Keempat hal ini
seharusnya dipelajari oleh seorang Buddhis demi kesejahteraan dirinya
dan orang lain. Inilah kunci keharmonisan hidup berkeluarga ala Buddhis.
sabbe satta bhavantu sukhitatta
semoga semua makluk turut berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar