Pertanyaan ini telah menjadi topic perdebatan berabat-abat lamanya,
bahkan sejak pada zaman sang Buddha gotama. Kebanyakan bikkhu yang mengemban
tugas mengembagka pandangan terang (vipassana-dhura)
bahwa praktek lebih penting daripada teori. Dengan meceritakan riwayat hidup culaphantaka thera, yang berhasil meraih
kesucian hanya denga merenungkanketaklanggengan dari sehelai sapu tangan yang
di genggam dan di gosok-gosok di bawah terik matahari, beberapa di antara
mereka bahkan ada yang mengatakan bahwa tanpa belajar teori sekalipun, seorang
mampu meraih kesucian dan pembebasan sejati. Sementara itu, kebanyakan bhikkhu
yang mengemban tugas mepelajari ajaran (gandha-dhura)
menyanggah bahwa teori lebih penting dan karenanya harus lebih di utamakan
daripada praktek.
Sesungguhnya, sangatlah salah jika di katakana bahwa tanpa belajar teori
sekali pu, seorang mampu meraih kesucian dan pembebasan sejati. Kalo tidak
demikian, mengapa sang Buddha gotama harus bersusah payah menetapkan vinaya,
membabarkan sutta, dan mewejangka abhidhamma? Sautu kebenaran tidaklah
selamanya dapat di simpulkan hanya dengan melihat ‘satu’ kehidupan orang-orang tertentu. Secara sepintas lalu, Chulapanthaka thera sepertinya
telah berahasil meraih kesucian tanpa belajar teori atau mengahafal suatu
ajaran apa pun. Tetapi, kalo di telusuru hingga beberapa kehidupan beliau yang
lampau, kenyataan sesungguhnya tidaklah begitu. Pada zaman Buddha kassapa,
beliau telah belajar bahkan sangat mahir dalam hal teori (dhamma-vinaya),
tetapi sanyangnya beliau telah lupa diri hingga mencemooh serta mentertawakan
seorang bikkhu sahabatnta yang lemah
dalam hal belajar. Pada hehidupan yang terakir, beliau terlahir sebagai orang
dungu yang tidak sanggup belajar dhamma vinaya dengan baik [sehingga sang
Buddha gotama terpaksa mencarikan cara lain ‘yang sederhana’ untuk dapat
menembus kebenaran]; adalah karena akibat perbuatan jahat (akusala-vipaka) yang harus di tangunya itu.
Pada dasarnya, teori dan praktek itu sama-sama pentingnya. Oleh karena
itu, seseorang tidak seharusnya mengutamakan yang satu dan mengesampingkan,
mengabekan atau bahkan mencampakan yang lain. Dengan perkataan lain, teori dan
praktek hendaknya tidak di nomersatukan atau dinomerduakan, tetapi hendaknya
sama-sama di di beri perhatiaan yang seimbang. Teori dapatlah di ibaratkan
sebagai peta yang menunjukan liku-liku serta seluk beluk jalan yang harus di
tempuh agar mencapai tempat tujuan dengan selamat; sedangkan praktek adalah
upaya dalam menempuh jalan sebagai mana yang ditunjukan dalam peta tersebut.
Sebuah peta tidak mungkin mengatar seseorang sampai ke tempat tujuan hanya
dengan di pegangi, dilekati, di kagumi atau di puji-puji. Akan tetapi, bersikap
nekat dengan menempuh perjalanan ke suatu tempat yang masih asing [belumpernah
di datangi] tampa pedoman sebuah peta, mengandung resiko yag sangat berat—bukan
hanya akan tersesat tapi bahkan bias terjerumus ke dalam jurang hingga sukar
untuk dapat kembali ke jalur yang benar. Para bikkhu yang hanya berpegangan
pada praktek cenderung mengerti ajaran sang Buddha berdasarkan pengalaman pribadi atau pandangan subjektif. Kalo di sanggah
berdasarkan kebenaran yang sesungguhnya, mereka akan berkilah “ Ah..., teoriny sih memang begitu, tapi prakteknya tidak
demikian. Teoro khan berbeda dengan
praktek. karena itu, praktek tidaklah dapat dan tidaklah boleh di pebandingkan
atau di cocok-cocokkan denga teori. “kilahan demikian ini tentu sangat salah.
Teori di rumuskan oleh sang Buddha berdasarkan praktek, pengalaman , pencapean
kebenaran da kenyataan sesungguhnya. Karena itu, suatu teori pastilah selaras
atau seiring dengan praktek. Jika suatu teori bertentengan dengan praktek, maka
hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini; kalo bukan teoriny ayng salah—bikan
sebagemana yang di ajarkan sang Buddha--,yah prakteknya yang salah. Sebaliknya,
para bikkhu yang hanya menekuni teori cenderung mengerti ajaran sang Buddha
berdasarkan penafsiranpribadi atau ungkapan hafiah. Dengan begitu, mereka
tentunya tidak dapat mengetahui kebenaran yang sesunguhnya.
Jadi, dapatlah di simpulka bahwa tidak ada pencapeaan kesuciaan dan
pembebasan sejati yang dapat di raih hanya dengan mengandalkan teori, tanpa
praktek sebagai tindak-lanjutnya. Sebaliknya, amatlah sia-sia jika menjalankan
praktek yang di anggap sudah benar tetapi ternyata bukan suatu cara praktek
sebagemana yang telah di rumuskan oleh sang Buddha sebagai teori. Untuk dapat
benar-benar meperoleh hasil yang nyata dan pesat, seseorang haruslah bersikap
arif dalam memanduka teori dan praktek.
Sumber
; buku MANGGALA (berkah utama)
Pengulas ; Jan sanjivaputta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar