Kamis, 16 Agustus 2012

Antara teori dan praktek manakah yang lebih penting?




         Pertanyaan ini telah menjadi topic perdebatan berabat-abat lamanya, bahkan sejak pada zaman sang Buddha gotama. Kebanyakan bikkhu yang mengemban tugas mengembagka pandangan terang (vipassana-dhura) bahwa praktek lebih penting daripada teori. Dengan meceritakan riwayat hidup culaphantaka thera, yang berhasil meraih kesucian hanya denga merenungkanketaklanggengan dari sehelai sapu tangan yang di genggam dan di gosok-gosok di bawah terik matahari, beberapa di antara mereka bahkan ada yang mengatakan bahwa tanpa belajar teori sekalipun, seorang mampu meraih kesucian dan pembebasan sejati. Sementara itu, kebanyakan bhikkhu yang mengemban tugas mepelajari ajaran (gandha-dhura) menyanggah bahwa teori lebih penting dan karenanya harus lebih di utamakan daripada praktek.

        Sesungguhnya, sangatlah salah jika di katakana bahwa tanpa belajar teori sekali pu, seorang mampu meraih kesucian dan pembebasan sejati. Kalo tidak demikian, mengapa sang Buddha gotama harus bersusah payah menetapkan vinaya, membabarkan sutta, dan mewejangka abhidhamma? Sautu kebenaran tidaklah selamanya dapat di simpulkan hanya dengan melihat  satu’  kehidupan orang-orang tertentu.  Secara sepintas lalu, Chulapanthaka thera sepertinya telah berahasil meraih kesucian tanpa belajar teori atau mengahafal suatu ajaran apa pun. Tetapi, kalo di telusuru hingga beberapa kehidupan beliau yang lampau, kenyataan sesungguhnya tidaklah begitu. Pada zaman Buddha kassapa, beliau telah belajar bahkan sangat mahir dalam hal teori (dhamma-vinaya), tetapi sanyangnya beliau telah lupa diri hingga mencemooh serta mentertawakan seorang bikkhu sahabatnta yang  lemah dalam hal belajar. Pada hehidupan yang terakir, beliau terlahir sebagai orang dungu yang tidak sanggup belajar dhamma vinaya dengan baik [sehingga sang Buddha gotama terpaksa mencarikan cara lain ‘yang sederhana’ untuk dapat menembus kebenaran]; adalah karena akibat perbuatan jahat (akusala-vipaka) yang harus di tangunya itu.

         Pada dasarnya, teori dan praktek itu sama-sama pentingnya. Oleh karena itu, seseorang tidak seharusnya mengutamakan yang satu dan mengesampingkan, mengabekan atau bahkan mencampakan yang lain. Dengan perkataan lain, teori dan praktek hendaknya tidak di nomersatukan atau dinomerduakan, tetapi hendaknya sama-sama di di beri perhatiaan yang seimbang. Teori dapatlah di ibaratkan sebagai peta yang menunjukan liku-liku serta seluk beluk jalan yang harus di tempuh agar mencapai tempat tujuan dengan selamat; sedangkan praktek adalah upaya dalam menempuh jalan sebagai mana yang ditunjukan dalam peta tersebut. Sebuah peta tidak mungkin mengatar seseorang sampai ke tempat tujuan hanya dengan di pegangi, dilekati, di kagumi atau di puji-puji. Akan tetapi, bersikap nekat dengan menempuh perjalanan ke suatu tempat yang masih asing [belumpernah di datangi] tampa pedoman sebuah peta, mengandung resiko yag sangat berat—bukan hanya akan tersesat tapi bahkan bias terjerumus ke dalam jurang hingga sukar untuk dapat kembali ke jalur yang benar. Para bikkhu yang hanya berpegangan pada praktek cenderung mengerti ajaran sang Buddha berdasarkan pengalaman pribadi atau pandangan subjektif. Kalo di sanggah berdasarkan kebenaran yang sesungguhnya, mereka akan berkilah “ Ah..., teoriny sih memang begitu, tapi prakteknya tidak demikian. Teoro khan berbeda dengan praktek. karena itu, praktek tidaklah dapat dan tidaklah boleh di pebandingkan atau di cocok-cocokkan denga teori. “kilahan demikian ini tentu sangat salah. Teori di rumuskan oleh sang Buddha berdasarkan praktek, pengalaman , pencapean kebenaran da kenyataan sesungguhnya. Karena itu, suatu teori pastilah selaras atau seiring dengan praktek. Jika suatu teori bertentengan dengan praktek, maka hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini; kalo bukan teoriny ayng salah—bikan sebagemana yang di ajarkan sang Buddha--,yah prakteknya yang salah. Sebaliknya, para bikkhu yang hanya menekuni teori cenderung mengerti ajaran sang Buddha berdasarkan penafsiranpribadi atau ungkapan hafiah. Dengan begitu, mereka tentunya tidak dapat mengetahui kebenaran yang sesunguhnya.

          Jadi, dapatlah di simpulka bahwa tidak ada pencapeaan kesuciaan dan pembebasan sejati yang dapat di raih hanya dengan mengandalkan teori, tanpa praktek sebagai tindak-lanjutnya. Sebaliknya, amatlah sia-sia jika menjalankan praktek yang di anggap sudah benar tetapi ternyata bukan suatu cara praktek sebagemana yang telah di rumuskan oleh sang Buddha sebagai teori. Untuk dapat benar-benar meperoleh hasil yang nyata dan pesat, seseorang haruslah bersikap arif dalam memanduka teori dan praktek.

Sumber    ; buku MANGGALA (berkah utama)
Pengulas ; Jan sanjivaputta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar