Kamis, 19 April 2012

Riwayat Hidup Y.M Bhikkhu Jinadhammo Mahathera 1

YM. Bhikkhu Jinadhammo Mahathera


Y.M Bhikkhu Jinadhammo yang biasanya dipanggil Bhante Jin atau Eyang ini merupakan anggota Sangha Theravada dari Sangha Agung Indonesia yang oleh Bhante Ashin Jinarakkhita ditugaskan di Sumatera untuk melakukan pembinaan umat yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Riau dan padang.
Beliau merupakan salah satu tokoh Buddhis yang sangat disegani di bumi Andalas ini karena pengabdiannya yang tidak kenal lelah.  Beliau juga dikenal sebagai Bhikkhu yang mudah dilayani, fleksible, simple dan humoris.

Berkat jasa dan pengabdian beliau, semakin hari semakin banyak berdiri vihara-vihara maupun cetiya di pelosok-pelosok daerah, dan yang baru-baru ini terbentuk adalah Indonesia Tipitaka Centre, Vihara Sujata dan Perpustakaan Buddhis Umum Nyana Samwara.

Kelahiran dan Masa Remaja
Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal menjadi seorang anggota Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.

Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah. Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung.

Pada waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut disyukuri dan terasa sangat nikmat. Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjadi topi dll, setidaknya dapat menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan di kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.

Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yang keras. Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran. Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu harus dekat dengan warung makanan. “Upahnya tak beliin kue, habis..” kenang Beliau sambil tertawa.

Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan. Bhante itu kalau mencukur cepat sekali, aku salah seorang anggota pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokoh Arjuna, tapi tak pernah melewatkan tokoh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam melarut dan walaupun menjelang subuh.

Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya? Untuk apa bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia yakni Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut menggambarkan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan, membahagiakan.
Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang (Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma Bandung.

Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.

Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun, Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan langsung Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan berlangsung dengan disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2 minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal dalam pelatihan.

Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut. Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin telah menggeledek: “Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, goblok…” Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus di antara sekian puluh orang peserta.

"Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut dan selanjutnya melatih orang lain.
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela."
(Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)

Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upasaka dan orang yang bisa menjadi Upasaka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia.

Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidak heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang tertidur selama 5 abad.

Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata pada pemuda Sunardi: “Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang.” Demikian pertanyaan yang dilontarkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau sendiri.

Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan tekadnya mendapat restu dari orang tua dan saudaranya.

Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, “Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma.” Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:

1. S. Jinasuryabhumi (U.P. Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu : Aggajinamitto).
2. S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari 1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.
3. S.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20 Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.
4. S.Dhammasushiyo (Sunardi), lahir Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo.
5. S.Djumadi, lahir Jumat 19 Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja.
2. Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \ Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta).
3. Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana)
4. Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5. Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia)
6. Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)

Pada saat  Sirivijayo dan Jinadhammo meminta upasampada, sesaat langit seakan berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore.

Belajar ke Wat Bovoranives Vihara
Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo) kemudian berangkat ke Negara Gajah Putih, Muangthai. Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru beliau.

Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udon thani, sebelah Timur Laut dari kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang dipimpin oleh Ajahn Boowa, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wat Ban Tad (Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad.
Ajahn Boowa adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Boowa melakukan gerakan Rakyat Menyelamatkan Negara. Beliau berkampanye mengumpulkan sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Boowa. Sudah milyaran dolar Amerika (dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn Boowa kepada pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu, Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)

Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah daging kodok rebus atau ulat kelapa (orang Jawa bilang : Gendon)

Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu hanya menerima makanan dari daging apabila :
1. Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2. Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3. Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.

Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil Om Yan oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin. Bhante Jin belum tidur waktu itu.

“Ada apa Om Yan? Tengah malam kok ngintip-ngintip?” tegur Bhante Jin tiba-tiba.
Om Yan ketawa terbahak-bahak. “Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di gubuk.”

Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah kamar aneh untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang. Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya.

“Apakah Bhante merasa tenang tinggal di vihara ini ?” tanya Om Yan.
“Tenang. Tenang sekali.” Jawab Bhante Jin.
“Bhante bisa tidur nyenyak ?” tanya Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil.
“Oh … bisa… bisa.” Jawab Bhante Jin.”Kenapa rupanya?” tanya Bhante Jin kembali.
“Ah, tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja.” Jawab Om Yan senyum-senyum mencurigakan.
Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa. Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar senyap.

Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang rada-rada aneh. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau jika diajak tidur di kamar berlantai aneh tempat Bhante Jin.
“Saya tak berani tidur di situ.” Katanya polos.
“Kenapa rupanya?Kamarnya kan luas.” Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara. Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan bertanya tentang kesehatan Bhante.
“Apa Bhante sehat-sehat saja?” tanya Om Yan sambil tersenyum.
“Sehat” jawab Bhante Jin singkat.
“Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh?” tanya Om Yan dengan nada menyelidiki.
“Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq.”
“Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar itu.”
“Lho, ada apa dengan kamar itu ? Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai. Bhante tahu batu apa itu?” tanya Om Yan serius.
“Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat?”
“Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya.” Jawab Om Yan.
“Oh ! Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu?”
“Ha… ha … ha… Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak diberitahu.” Jawab Om Yan gembira.

Sumber : Indonesian Buddhist Society


Tidak ada komentar:

Posting Komentar