Bercermin
Seorang pemuda dating berkonsultasi kepada seorang bhikkhu;
“ bante, mengapa saya belum menemukan jodoh saya? Bahkan, saya belum mendapat pacar sekalipun.”?
“gadis seperti apa yang kamu inginkan?”
“ saya menginginkan gadis yg putih, cantik jelita, tinggi pintar,perhatian dan mencintai saya”
“ oh kalo begitu kamu harus melaksanakan 3B.”
“ apa itu bhante, coba jelaskan.”
“B” yg pertama adalah berusaha, apakah kamu sudah cukup berusaha
“ wah..wah yang namanya usaha itu bante, saya sudah lakukan semaksimal. Sudah banyak tempat yang saya lalui demi mendapatkan gadis impian saya itu.”
“ kalo begitu kamu harus melaksanakan ajaran “B” yg ke dua, yaitu “berbuat baik” misalnya, senang baca parita, berdana, menjalankan sila dan sekali-kali bermeditasi.”
“ bante, sudah sering saya melakukan hal itu, bahkan yang namanya parita sudah hafal di luar kepala. Saya juga sering berdana dan beberapa kali dalam sebulan melakukan pelepasan binatang. Demikian juga bermeditasi, bahkan setiap hari.
“ wah, mungkin kamu harus melaksanakan ajaran “B” yang ke tiga.”
“ apa itu, bhante!?
“ bercermin!”
Tertawa tentu boleh, tapi jangan tersinggung. Kalo anda masih tersinggung, berarti anda mebenarkan diri bahwa anda mirip seperti percakapan di atas.
Lebih penting dari itu semua, percakapan di atas hendaknya menjadi bahan renungan bagi kita semua. Ada satu perumpaman; ketika ingin mengambi mutiara yg berada di dalam lubang, kita selalu mengeluh bahwa letak mutiara yg terlalu jauh. Sangat jarang kita menyadari bahwa tangan kitalah yang sesungguhnya masih pendek.
Menyadari kekurangan diri bukan berari menjadi pasif, pasrah hal yang terbaik yang kita lakukan adalah memperbaiki kekurangan, sehingga bias melakukan langkah yang bermanfaat. Orang bijak berkata, ia yang bermutu tinggi adalah ia yag berani melihat kekurangan diri dan berusaha untuk meperbaikinya.
Kita menjadi tidak berdaya karena tidak tidak terbiasa bercermin, melakukan introspeksi diri, atau menengok ke dalam diri. Jika kita menganggap bahwa masalah selalu dating dari orang lain atau dari luar diri kita, maka kecenderungan kita akan menyalahkan orang lain dan menggantungkan diri kepada sesuatu yang di luar menunjukan bahwa kita belum menyelami dhamma.
Kita menjadi tidak berdaya karena tidak tidak terbiasa bercermin, melakukan introspeksi diri, atau menengok ke dalam diri. Jika kita menganggap bahwa masalah selalu dating dari orang lain atau dari luar diri kita, maka kecenderungan kita akan menyalahkan orang lain dan menggantungkan diri kepada sesuatu yang di luar menunjukan bahwa kita belum menyelami dhamma.
Suatu ketika sang Buddha bersama yang mulia rahula . beliau bertanya,
“ apa manfaat dari cermin itu?” “ untuk bercermin, bante ,” jawab yang mulia rahula. “ demikian pula dengan setiap perbuatan, baik yang di lakukan dengan badan jasmani, ucapan maupun pikiran, haruslah kita lakukan setelah bercermin dengan cermat sesuai dhamma.”
Bila seseorang sulit meperoleh apa yang di inginkan, mungkin juga keinginanya terlalu muluk dan tidak realistis. Bila suatu saat kita tidak suka pada apa yang kita peroleh, hendaknya kita belajar mebelokan pola pikir pada pernyataan. “ pasti ada yang salah dalam diri kita.” Ini juga berarti bahwa hasil atau pelakuan yg kita peroleh sekarang tergantung pada cara kita melakukan orang di sekitar kita. Bagemana kita memberikan perilaku kepada orang di sekitar kita, seperti itulah yang akan di pelakukan nanti.
Banyak yang bicara laksana debu samudra, tapi batinya masih tenggelam dalam kesuraman gua. Banyak yang mengatakan diri seolah lebih tinggi dari gunung, namun sesungguhnya ia masih tertidur lelap dalam gendongan sang nafsu, tetapi, mereka yang bijaksana akan selalu menengok ke dalam diri, bercermin diri.
Mungkin anda pernah mendengar satu syair tembang pop yang cuplikan tembangnya kira-kira begini,
“……..kita musti berjuang memerangi diri………bercermin dan teruslah bercermin…..”
“……..kita musti berjuang memerangi diri………bercermin dan teruslah bercermin…..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar