Rabu, 03 Oktober 2012


SEDIKIT BICARA.



                    Saya pernah mempunyai seorang teman, dan dia pernak bertanya kepada saya, “siapa yang sedikit bicara banyak bekerja.?” Saya terdiam sejenak untuk berfikir apa jawabannya. Lalu saya menjawab , “tentara! Kalo sedang menyerang musuh tentara tidak boleh ngomong/ ngobrol.”
Temanku menyalahkan, lalu ia berkata dengan wajah serius namun kelihatan lucu, “sedikit bicara tapi banyak kerja ya maling. Mana ada maling berisik kalo sedang beraksi, ya kan?”
                 Saya tertawa mendengan jawaban itu begitu juga teman saya itu. Belakangan ketika mengingan percakapan itu, ingatan saya lari ke rumah. Saya teringat seseorang yang dekat dalam kehidupan saya, dia adalah ibu.

             Mengingt aktivitasnya sehari-hari, ibu tidak lebih dari wanita desa. Beliau masih kurang dalam hal baca tulis, bahkan untuk berbahasa Indonesia pun masih jauh sebutan bisa, apalagi fasih. Yang saya tau, ibu sedikit bicara tapi selalu tidak betah kalo terdiam diri katanya sih kalo diam dan tidak bekerja , malah sakit semua badannya. Beliau menyibukkan dirinya dengan apa yang bisa di kerjakan, demi keluarga. Namun yang jelas, ibu bukanlah seperti orang yang di maksut teman saya dalam percakapan saya di atas. Kasihan deh saya, kalo anda berfikir demikian.
                 Sejujurnya, dulu saya merasa tidak puas karena ibu kurang baca tulis. Hal ini memuncak ketika saya sedang sakit dan saya tidak masuk sekolah, lalu ibu membuat surat iziz untuk saya. Di sekolah surat izin itu di baca guruku di depan teman-temanku. Dan ada kata-kata yang penulisannya salah ,(tentunya menggunakan bahasa daerah), “Anak saya boten saget tindak” maksut ibu hendaknya mau menulis, “ anak saya tidak bias hadir” kata-kata itu menjadi cerita lucu temen saya. Mereka selalu tertawa kalo menceritakan hal itu. Dan tentu saja, saya menjadi kesal dan malu kepadanya. Orang itu tertawa di atas kesedihan saya.
 
               Mengingat kekurangan ibu itu, saya menjadi minder ketika bergaul dengan teman-teman sekolah. Saya selalu mencari alasan untuk menolak bila teman saya ingin ke rumah saya dan bertemu ibu. Saya sering mengalihkan pembicaran ketika teman-teman bertanya tentang ibu. Memikirkan kekurangan ibu saja saya enggan, apalagi membicarakannya. Begitulah, saya menarik diri ketika teman-teman bercerita tentang ibu mereka yang katanya pintar dan hebat. Saya iri pada ibu mereka.
             Hari-hari selanjutnya, mata saya sering menatap tidak lembut kepada ibu. Ibu juga sering kali mendengar kata kasar yang saya ucapkan. Saya sering tidak peduli betapa remuknya ibu mendengar kata-kata kasar itu. Saya nyaris terseret dalam kekelaman seorang anak ketika saya mulai membesarkan kekurangan orang tua. Saya sangat mengerti mereka sangat baik tapi saya menuntut lebih dari itu. Sering dalam banyak hal, saya tidak peduli bagemana cara mereka meperoleh sesuatu yang saya inginkan. Satu hal saja yang saya pikirkan, mereka harus memenuhu keinginan saya. 
Namun, waktu itu saya belum mengerti entak kekuatan apa yang membuat ibu tetap sabar, ibu masih memaafkan saya.
Sampai pada suatu ketika, seseorang bercerita kepada saya, “ satu tetangga kita sudak pergi untuk selama-lamanya alias meninggal. “kenapa, sakit apa?” Tanya saya ingin tahu lebih jelas. “ ia melahirkan seorang anak tetapi ia sendiri tidak selamat, ia meninggal dunia,” jawab dengan pelan.
           Saya tersentak mendengar cerita itu, saya tiba-tiba ingat ibu. Seperti terbangun dari mimpi buruk kemudian saya berpikir, bukankah ibu pernah dekat dengan keadaan seperti itu ketika saya di lahirkan? Hati saya bergetar ketika saya memikirkan semua kejadia itu. Saya mulai mengeluarkan air mata ketika saya menyadari bertapa buruknya pemikiran saya selama ini tentang ibu. 

          Betapa lemahnya sehingga saya tidak mampu melihat begitu banyak sifat-sifat baik ibu. Saya tidak sadar bahwa ibu adalah orang yang mengantarkan saya terlahir menjadi manusia. Saya benar-benar buta bahwa awalnya saya hanya setetes seperma yang tersimpan di rahim ibu. Ibu makan sehingga saya terbentuk. Berbulan-bulan tubuh saya menjadi beban di perut ibu. Dan semenjak lahir, siang dan malam ibu menjaga saya .
           Cerita seseorang itu memanggil-manggil saya. Saya di ingatkan lagi pengorbanan yang di lakukan ibu. Ibu telah merawat saya sejak kecil. Ibu mebiarkan perutnya lapar demi kekenyangan saya. Ibu mebiarkan kehausan demi lepasnya dahaga saya. Ibu yang member makan saya setiap hari. Makan itu hasil dari perasan keringat, tetesan air mata, jerih payah orang tua. Dari makanan itulah jantung saya didetakan. Dari makanan itulah saya memiliki akal sehat sehingga bias belajar sampai saat ini.
          Kesadaran itu menolong saya dan merubah cara pandang saya tentang ibu dan banyak hal. Memang ibu bukanlah apa-apa jika di banding wanita karier di jaman modern. Ibu tidak lebih dari wanita desa. Mungkin kekurangan ibu adalah tidak pandai membaca dan menulis. Tetapi kekurangan itu sekaligus kelebihannya. Ibu memang tidak sekolah tinggi, namun ia berjuang untuk menjadi orang tidak pongah. Ibu memang bukan orang yang banyak ilmu, namun sekuat tenaga ia tidak menjadi seorang penipu.
            Ibu mengajari saya bukan dengan dengan banyak bicara. Ibu cukup mendidik saya lewat sikap dan bekerja, namun pendidikan seperti itu lah yang justru lebih lantang dari kata-kata, dan cara seperti itulah yang tetap lekat dalam ingatan saya. Sedikit bicara adalah kabar baik bagi seorang praktisi meditasi, tetapi
   
kabar buruk bagi selesmen dan sejenisnya

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar