"Masalah datang bukan hanya dari luar diri kita,
tapi kebanyakan dari dalam diri kita".
Suatu hari saya pernah berkata kepada seseorang, “ ketahuilah bahwa 70
persen manusia di dunia ini memiliki masalah utama yaitu dengan pasangan
atau keluarga!”. maka dari itu saya males berkeluarga,hahahaa saya sambil sedikit tertawa. Lalu orang itu bertanya kepada saya dengan penasaran,
“lalu bagaimana dengan yang 30 persen itu?”. Lalu saya menjawab dengan
sedikit tersenyum, mereka masih lajang”, Lalu ia tertawa hahahah.
Ada banyak orang menanggapi percakapan itu. Ada yang menganggap itu hanya sebuah lelucon, tetapi ada yang menganggap itu hal yang serius. Entah banyak tanggapan, tapi saya memberi tanggapan itu sebuah lelucon yang sedikit serius, menurut saya!. Seorang yang masih lajang mungkin menganggap sebagai lelucon, sebaliknya seorang perumah- tangga menganggap sebagai sesuatu yang serius, bahkan mungkin mengerikan!.
Suatu hari seorang ibu datang ke vihara. Karena para bhante sedang tidak ada di tempat maka sayalah yang menemui ibu tersebut, awalnya ibu itu bertemu dengan anak yang bekerja di vihara , dan si ibu itu mengatakan bahwa ia ingin bertemu kepada bhante siapa saja, kata anak yang bekerja di vihara kepada saya.
Ibu itu baru sekali datang ke vihara, ia sudah menikah empat tahun dan sudah memiliki 2 anak, katanya. di tahun-tahun awal pernikahan, ia hidup dalam keluarga yang bahagia. Segalanya selalu berjalan dengan lancar. Kalaupun ada konflik, semua di tangani dengan baik . singkatnya, tidak ada masalah yang berarti.
Belakangan setelah anaknya yag ke 2 lahir, suaminya mulai lebih sibuk dengan pekerjaannya. Suaminya sering pulang malam dan memiliki jadwal ke luar kota lebih banyak. Kalau pulang, suaminya datang bersama keletihan dan segudang keluhan, katanya. Kemudian komunikasi antara mereka lebih banyak negatif.
Sebagai seorang samanera (calon bhante/bikkhu), kewajiban bagi saya membantu semampunya, itupun kalo bisa karena belom pernah berkeluarga, dalam kehidupan ini entah kalo kehidupan sebelumnya. Saya berkata kepada ibu itu, “ ibu harap maklum, saya ini tidak pernah menjalani kehidupan berumah tangga. Akan lebih baik ibu bertanya kepada bhante yang berpengalaman, misalnya seorang bhikkhu yang dulunya pernah berumah tangga. Ibu itu menjawab,” saya sudah pernah tapi kurang manju", ia ngomong dengan nada agak keras. Ya, saya hari ini berterima kasih dapat berbicara dengan samanera” kata ibu itu.
Saya kemudian mengatakan, “ bagaimanapun juga bu, dalam kehidupan bersama itu harus ada komunikasi yang baik. Keinginan dia dengan ibu apabila berbicara hendaknya dibarengi kesediaan mendengar. Dan yang penting, ibu jangan cepat emosi.”
Samanera, saya sudah berusaha, tetapi dia selalu begitu. Apapun yang saya lakukan, tanggapannya selalu dingin, (es kali, pikir saya). Saya tidak tahan di perlakukan begitu terus. Saya sudah tidak cocok denga dia, samanera”. Potongannya menuangkan unek-unek yang ada di pikirannya. Dengan nada lelucon kemudian saya berkata, “tetapi bu, kan ibu sudah 4 tahun hidup bersama, dan ibu sudah melahirkan 2 anak. Bagaimana mungkin ibu tidak cocok?” ibu itu terdiam sejenak, entah kenapa, ia tertawa meski dengan suara agak tertahan. “ iya ya samanera, saya emosi ya samanera?”
Sebenarnya ibu itu tidak terlalu peduli pada ucapan saya, apalagi saran saya. Mungkin ia tahu benar bahwa lawan bicaranya tidak punya pengalaman langsung dalam kehidupan berumah-tangga. Ya, saya memakluminya. Ibu itu tidak mebutuhkan jawaban. Ia hanya butuh orang yang mau mendengar masalahnya. Begitulah, hari itu saya membantunya walo hanya menjadi pendengar. Lumayan kan, bias membuat orang tertawa walo berada dalam tekanan?. Ya setidaknya pelajaran yang berharga bagi saya dari mendengar, walaupun tidak langsung belajar dari pengalaman.
Ada banyak orang menanggapi percakapan itu. Ada yang menganggap itu hanya sebuah lelucon, tetapi ada yang menganggap itu hal yang serius. Entah banyak tanggapan, tapi saya memberi tanggapan itu sebuah lelucon yang sedikit serius, menurut saya!. Seorang yang masih lajang mungkin menganggap sebagai lelucon, sebaliknya seorang perumah- tangga menganggap sebagai sesuatu yang serius, bahkan mungkin mengerikan!.
Suatu hari seorang ibu datang ke vihara. Karena para bhante sedang tidak ada di tempat maka sayalah yang menemui ibu tersebut, awalnya ibu itu bertemu dengan anak yang bekerja di vihara , dan si ibu itu mengatakan bahwa ia ingin bertemu kepada bhante siapa saja, kata anak yang bekerja di vihara kepada saya.
Ibu itu baru sekali datang ke vihara, ia sudah menikah empat tahun dan sudah memiliki 2 anak, katanya. di tahun-tahun awal pernikahan, ia hidup dalam keluarga yang bahagia. Segalanya selalu berjalan dengan lancar. Kalaupun ada konflik, semua di tangani dengan baik . singkatnya, tidak ada masalah yang berarti.
Belakangan setelah anaknya yag ke 2 lahir, suaminya mulai lebih sibuk dengan pekerjaannya. Suaminya sering pulang malam dan memiliki jadwal ke luar kota lebih banyak. Kalau pulang, suaminya datang bersama keletihan dan segudang keluhan, katanya. Kemudian komunikasi antara mereka lebih banyak negatif.
Sebagai seorang samanera (calon bhante/bikkhu), kewajiban bagi saya membantu semampunya, itupun kalo bisa karena belom pernah berkeluarga, dalam kehidupan ini entah kalo kehidupan sebelumnya. Saya berkata kepada ibu itu, “ ibu harap maklum, saya ini tidak pernah menjalani kehidupan berumah tangga. Akan lebih baik ibu bertanya kepada bhante yang berpengalaman, misalnya seorang bhikkhu yang dulunya pernah berumah tangga. Ibu itu menjawab,” saya sudah pernah tapi kurang manju", ia ngomong dengan nada agak keras. Ya, saya hari ini berterima kasih dapat berbicara dengan samanera” kata ibu itu.
Saya kemudian mengatakan, “ bagaimanapun juga bu, dalam kehidupan bersama itu harus ada komunikasi yang baik. Keinginan dia dengan ibu apabila berbicara hendaknya dibarengi kesediaan mendengar. Dan yang penting, ibu jangan cepat emosi.”
Samanera, saya sudah berusaha, tetapi dia selalu begitu. Apapun yang saya lakukan, tanggapannya selalu dingin, (es kali, pikir saya). Saya tidak tahan di perlakukan begitu terus. Saya sudah tidak cocok denga dia, samanera”. Potongannya menuangkan unek-unek yang ada di pikirannya. Dengan nada lelucon kemudian saya berkata, “tetapi bu, kan ibu sudah 4 tahun hidup bersama, dan ibu sudah melahirkan 2 anak. Bagaimana mungkin ibu tidak cocok?” ibu itu terdiam sejenak, entah kenapa, ia tertawa meski dengan suara agak tertahan. “ iya ya samanera, saya emosi ya samanera?”
Sebenarnya ibu itu tidak terlalu peduli pada ucapan saya, apalagi saran saya. Mungkin ia tahu benar bahwa lawan bicaranya tidak punya pengalaman langsung dalam kehidupan berumah-tangga. Ya, saya memakluminya. Ibu itu tidak mebutuhkan jawaban. Ia hanya butuh orang yang mau mendengar masalahnya. Begitulah, hari itu saya membantunya walo hanya menjadi pendengar. Lumayan kan, bias membuat orang tertawa walo berada dalam tekanan?. Ya setidaknya pelajaran yang berharga bagi saya dari mendengar, walaupun tidak langsung belajar dari pengalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar